Penegak Hukum Diminta Hati-hati dan Adil dalam Terapkan UU Tipikor

Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan. Dok. Istimewa

Penegak Hukum Diminta Hati-hati dan Adil dalam Terapkan UU Tipikor

Achmad Zulfikar Fazli • 14 November 2024 18:55

Jakarta: Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan meminta penegak hukum berhati-hati dan adil dalam menerapkan Pasal 2 dan Pasal 3 dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Jangan sampai penerapan aturan itu melukai keadilan tertinggi.

"Harapan kita tentunya bagaimana penegak hukum dapat melaksanakan ini dengan hati-hati dengan adil. Jangan sampai melukai keadilan yang tertinggi. Ini yang saya kira penting yang harus kita garisbawahi atau laksanakan," kata Otto, Jakarta, Kamis, 4 November 2024.

Hal ini disampaikan Otto dalam Seminar Nasional bertajuk "Kriminalisasi Kebijakan dalam Jerat Pidana Korupsi" yang digelar oleh Katadata Insight Center di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Menurut dia, Pasal 2 dan 3 UU Tipikor memang kerap mengundang perdebatan.

Dalam Pasal 2 UU Tipikor disebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Dia menyebut frasa perbuatan melawan hukum dalam Pasal 2 UU Tipikor oleh sebagian orang diminta agar dirumuskan kembali supaya dapat memenuhi unsur pidana. Pasal 2 tersebut dinilai terlalu lentur karena tidak mendapatkan actus reus tentang unsur perbuatan melawan hukumnya.

Namun, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menyebutkan frasa tersebut tidak lentur. Sebab, unsur perbuatan melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan merugikan negara sudah termaktub di dalam pasal tersebut.

"Apakah tidak dipertimbangkan? Business Judgment Rules harus dipertimbangkan tapi jangan juga digunakan untuk menutupi perbuatan pidana itu. (Jadi) selalu ada dua sisi," ungkap dia.

Oleh karena itu, Otto meminta pelaksanaan UU ini harus dilakukan dengan hati-hati dan adil. Aturan ini bisa menjerat koruptor jika memang ditegakkan dengan benar. 

"Kalau dilaksanakan dengan hati-hati dan adil itu sebenarnya benar demikian kita bisa menjerat pelaku korupsi kalau dia betul-betul melakukan perbuatan itu," ujar dia. 
 

Baca Juga: 

Editorial Media Indonesia: Buktikan Sikat Kanker Korups


Sementara itu, Wakil Ketua KPK periode 2007-2011 Chandra Hamzah mengatakan frasa tiap perbuatan dalam Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 1957 yang merupakan asal usul Pasal 2 UU Tipikor 1999 tidak memenuhi actus reus. Semula, pasal-pasal ini diperuntukkan bagi pihak swasta. 

Sedangkan, Pasal 3 digunakan untuk pegawai negeri atau pejabat negara, di mana bunyinya adalah setiap orang menyalahgunakan kewenangan dan jabatannya kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama 20 tahun, dan atau denda paling sedikit Rp50 juta, dan paling banyak Rp1 miliar.

"Secara historical dan kontekstual, asal muasal Pasal 2 dan Pasal 3 (1) UU Tipikor ditujukan antara lain untuk mengantisipasi perbuatan curang terkait dengan nasionalisasi perusahaan asing di tahun 1950-an. Jadi nenek moyangnya Pasal 1 dan 3 UU Tipikor adalah akrobatik yuridis karena ada oknum yang tiba-tiba kaya padahal tak memiliki usaha," ujar dia.

Chandra mengatakan setiap negara harus memiliki istilah yang sama dalam memutuskan perkara memenuhi tindak pidana korupsi atau tidak. Negara-negara lain di dunia menyepakatinya dengan istilah suap, bukan kerugian negara.

"Dalam rezim hukum negara mana yang ada frasa kerugian negara? Untuk MLA ke negara lain saat kerja sama penyidikan di Amerika Serikat, (namanya) suap. Vocabulary-nya sama, suap," tutur dia.

Untuk itu, lanjut dia, dalam konferensi negara-negara PBB dalam pemberantasan korupsi diusulkan menghapus Pasal 2(1) UU Tipikor. Kemudian, mengganti rumusan Pasal 3 UU Tipikor dengan rumusan baru berdasarkan norma yang termuat dalam Article 19 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC), yaitu menghilangkan frasa 'yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara' dan mengganti kata 'Setiap Orang' dengan kata 'Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara'.

Selanjutnya, terdakwa dapat dijatuhi hukuman pidana tambahan berdasarkan Pasal 18 UU Tipikor, yaitu berupa pembayaran uang pengganti yang jumlah sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, dan terdakwa jangan dituntut hukuman pidana penjara pengganti (subsider).

"Pengalaman saya, subsider enggak boleh lebih lama dibandingkan pokok. Pokok dihukum 4 tahun, subsider 3 tahun. Uang penggantinya berapa? Rp350 miliar. Ini ada kejadian, subsider enam bulan. Ya pilih tambah (kurungan) enam bulan lagi. Jadi ketentuan subsider itu berdasarkan fakta bukan berdasarkan perilaku," ujar dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)