Menkeu Sri Mulyani Indrawati. Foto: dok Kemenkeu.
Media Indonesia • 20 May 2024 13:40
Jakarta: Pemerintah merencanakan defisit fiskal 2025 berada di kisaran 2,45 persen hingga 2,82 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Hal itu tertuang dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025 yang disampaikan pengambil kebijakan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Reformasi fiskal yang selama ini sudah berjalan harus dilanjutkan dan diperkuat efektivitasnya melalui collecting more, spending better, dan innovative financing," kata Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati saat menyampaikan KEM-PPKF dalam Rapat Paripurna DPR ke-17 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023-2024 di Gedung DPR, Jakarta, Senin, 20 Mei 2024.
Dia mengatakan, upaya untuk menutup defisit tersebut dilakukan dengan mendorong pembiayaan yang inovatif, prudent dan berkelanjutan yang ditempuh dengan beragam cara.
Cara-cara itu ialah pengendalian rasio utang dalam batas terkendali di kisaran 37,98 persen hingga 38,71 persen PDB. Lalu mendorong efektivitas pembiayaan investasi untuk mendukung transformasi ekonomi dengan memberdayakan peran BUMN, BLU, Special Mission Vehicle (SMV) dan Sovereign Wealth Fund (SWF).
Kemudian memanfaatkan Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk antisipasi ketidakpastian; peningkatan akses pembiayaan bagi MBR dan UMKM; dan mendorong skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang berkelanjutan.
Prakiraan defisit tersebut diperoleh dari proyeksi pendapatan negara tahun depan yang berada di kisaran 12,14 persen hingga 12,36 persen dari PDB. Sri Mulyani menyatakan, pendapatan negara tahun depan akan dikantongi melalui kebijakan optimalisasi pengumpulan lebih (collecting more) dengan tetap menjaga iklim investasi, bisnis, dan kelestarian lingkungan.
"Hal ini ditempuh dengan menjaga efektivitas pelaksanaan reformasi perpajakan (UU HPP) yang lebih sehat dan adil, perluasan basis pajak, serta peningkatan kepatuhan wajib pajak," kata perempuan yang karib disapa Ani tersebut.
Perluasan basis pajak dan pengawasan pemenuhan kewajiban perpajakan juga diperlukan untuk memitigasi risiko dari sektor ekonomi yang rentan terhadap dinamika perekonomian global dan volatilitas harga komoditas.
Ani menambahkan, komitmen Indonesia dalam penerapan Global Taxation Agreement juga menjadi peluang bagi perluasan basis pajak melalui pemajakan korporasi multinasional yang melakukan transaksi lintas negara.
Baca juga: Sri Mulyani Lapor Jokowi Penyebab Persoalan di Bea Cukai yang Sempat Viral |