Para pahlawan kemerdekaan pada peristiwa Rengasdengklok. (Wikimedia Commons)
Jakarta: Menjelang 80 tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 2025, penting untuk mengenang kembali perjalanan bangsa melalui sosok-sosok yang memegang peranan kunci dalam merebut dan membentuk Republik.
Berikut profil singkat 10 tokoh utama pahlawan penggerak kemerdekaan Indonesia.
1. Ir. Sukarno (6 Juni 1901 – 21 Juni 1970)
Foto: Ilustrasi Ir. Soekarno pidato KAA 1955. (Istimewa)
Lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901, Soekarno adalah putra guru sekolah priyayi Jawa dan ibu dari keluarga Brahmana Bali. Ia bersekolah di
Europeesche Lagere School dan
Hogere Burgerschool, serta menjadi salah satu dari sedikit pribumi yang diterima di lembaga pendidikan Hindia Belanda.
Pada 1921, Soekarno masuk
Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB), lulus dengan gelar insinyur sipil pada 1926.
Di Bandung, Soekarno terlibat aktif dalam pergerakan mahasiswa dan mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) pada 4 Juli 1927. Partai ini menolak kolonialisme, mempromosikan persatuan bangsa, dan menentang sistem ekonomi kapitalis asing. Karena aktivitas politiknya ia sering dipenjara (1929–1931) dan diasingkan oleh Belanda ke berbagai daerah seperti Ende dan Bengkulu.
Selama pendudukan Jepang, Soekarno dijadikan simbol nasionalisme yang disetujui Jepang, namun ia tetap menggunakan kesempatan itu untuk memperjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi anggota BPUPKI dan PPKI—memimpin sidang perumusan dasar negara dan memperkenalkan Pancasila sebagai ideologi bangsa pada 1 Juni 1945.
Pada pagi 17 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta membacakan Teks Proklamasi di rumah Jalan Pegangsaan Timur No. 56, dan keesokan harinya ia diangkat sebagai Presiden Republik Indonesia oleh PPK. Ia memimpin negara dari era Revolusi Nasional hingga penerapan Demokrasi Terpimpin mulai 1959.
Di masa kepemimpinannya, Soekarno memperkenalkan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) sebagai landasan integrasi politik dan mengarahkan Indonesia menjadi salah satu pendiri Gerakan Non-Blok setelah menjadi tuan rumah Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955.
Setelah krisis politik 1965 dan naiknya kekuasaan Soeharto, Soekarno secara resmi kehilangan kekuasaan sejak Maret 1967 dan menghabiskan sisa hidup di bawah tahanan rumah. Ia wafat di Jakarta pada 21 Juni 1970 dan dimakamkan di Blitar, Jawa Timur.
2. Mohammad Hatta (12 Agustus 1902 – 14 Maret 1980)
Foto: Ilustrasi Mohammad Hatta. (ANRI)
Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, dalam keluarga Minangkabau terpelajar yang menjunjung tinggi nilai agama dan pendidikan. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, meninggal saat Hatta masih balita, dan ia tumbuh dalam asuhan keluarga ibunya.
Hatta melanjutkan pendidikan dasar hingga menengah di
Nederlandsch-Indische sekolah Belanda dan kemudian ke Haarlem dan Rotterdam di Belanda (Erasmus University Rotterdam). Di Eropa, ia aktif dalam Perhimpunan Indonesia—sebagai bendahara lalu ketua yang memimpin gerakan mahasiswa nasionalis.
Ia menyuarakan kemerdekaan bangsa melalui majalah Indonesia Merdeka dan pertemuan internasional, hingga ditahan Belanda dan diasingkan ke Digul dan Banda Neira.
Meski berat, masa pengasingan tidak memadamkan semangatnya. Saat pendudukan Jepang, Hatta diundang bersama Sukarno dan Sjahrir untuk terlibat dalam lembaga bentukan Jepang; namun ia tetap menekankan pentingnya kemerdekaan melalui persiapan politik. Dalam BPUPKI, Hatta turut menyusun dasar negara dan berperan dalam PPKI yang merancang teks dan struktur negara.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Hatta mendampingi Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan dan menjadi orang kedua yang menandatangani teks proklamasi. Keesokan harinya, ia diangkat sebagai Wakil Presiden pertama Republik Indonesia dan menjabat hingga 1956.
Ia juga memegang jabatan Perdana Menteri pada masa revolusi (1948–1949), menjadi tokoh utama dalam perundingan Linggadjati dan Konferensi Meja Bundar yang menghasilkan pengakuan kedaulatan RI.
Hatta dikenal sebagai pemikir ekonomi dan demokrasi. Ia mengembangkan gerakan koperasi untuk memperkuat ekonomi kerakyatan dan mendirikan Koperasi sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ia juga terkenal dengan doktrin luar negeri “bebas dan aktif”—menegaskan kebijakan Indonesia tidak berpihak salah satu kekuatan global.
Setelah mundur dari jabatan Wakil Presiden pada akhir 1956 karena ketidaksetujuannya dengan arah politik dan otoritarianisme Sukarno, Hatta tetap bermain peran sebagai intelektual. Ia menulis buku, memberi kuliah di universitas, dan mengkritik kebijakan yang menurutnya mengabaikan demokrasi.
Saat Orde Baru mulai memuncak, ia bahkan menjadi anggota komisi antikorupsi nasional serta aktif dalam forum pembela konstitusi dan reformasi negara.
Mohammad Hatta wafat pada 14 Maret 1980 di Jakarta dan dimakamkan di TPU Tanah Kusir. Ia dikenang sebagai "Bapak Koperasi Indonesia", Proklamator, Wakil Presiden pertama, dan negarawan yang gigih memperjuangkan demokrasi, kemerdekaan, dan kemandirian ekonomi bangsa.
3. Tan Malaka (2 Juni 1897 – 21 Februari 1949)
Foto: Tan Malaka, 1922. (KITLV)
Tan Malaka lahir di Nagari Pandam Gadang, Suliki, Sumatera Barat, dalam keluarga intelektual Minangkabau. Ia memperoleh gelar Datuk kelahirannya dan kemudian dikenal dunia sebagai Tan Malaka. Sejak kecil, ia mengenyam pendidikan di Kweekschool Bukittinggi sebelum melanjutkan studi ke Belanda dengan beasiswa pemerintah.
Di Eropa lah ia mendalami ideologi sosialisme dan Marxisme, serta aktif dalam organisasi pelajar dan Komintern.
Setelah pulang ke Hindia Belanda pada 1919, ia mengajar di perkebunan Deli sambil menulis artikel kritis tentang penderitaan rakyat pekerja. Ia bergabung dengan ISDV—cikal bakal Partai Komunis Indonesia—dan pada 1921 menjadi salah satu pemimpin PKI.
Karena aktivitasnya, pemerintah kolonial membuangnya ke Belanda dan melarang ia kembali. Ia kemudian tinggal di Berlin, Moskow, dan Bangkok sebagai aktivis revolusioner.
Untuk melanjutkan gagasannya, Malaka menerbitkan
Naar de Republiek Indonesia pada pertengahan 1920-an, yang menegaskan kemerdekaan Indonesia sebagai republik penuh, bahkan sebelum Soekarno-Hatta populer. Ia menolak pemberontakan PKI 1926–27 karena terlalu dini dan kemudian mendirikan Persatuan Perjuangan yang menolak segala hasil perundingan kompromistis dengan Belanda.
Selama pendudukan Jepang, ia kembali ke Indonesia secara rahasia dan menyusun Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) antara 1942–43 sebagai upaya membangkitkan kesadaran rasional ala Marxisme nasional yang kritis terhadap mistisisme. Karya ini menjadi teks intelektual terpenting dalam pemikiran politik Indonesia modern.
Pada masa Revolusi Nasional (1945–49), Malaka memimpin sayap radikal yang menolak politik moderat. Ia mendirikan Partai Murba pada 1948 sebagai platform Komunis Nasional Indonesia dan memimpin barisan milisi serta propaganda langsung ke rakyat. Namun karena bentrokan ideologi, ia ditangkap oleh pasukan Republik sendiri dan dieksekusi secara diam-diam di Kediri pada 21 Februari 1949.
Tan Malaka kemudian ditetapkan sebagai
Pahlawan Nasional pada 1963.
4. Ki Hajar Dewantara (2 Mei 1889 – 26 April 1959)
Foto: Ki Hajar Dewantara. (via Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Tengah)
Ki Hajar Dewantara lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889 dari keluarga bangsawan Pakualaman. Ia mendapatkan pendidikan ELS (sekolah dasar Belanda) dan kemudian masuk STOVIA (sekolah kedokteran untuk pribumi), meskipun tidak menyelesaikannya karena sakit.
Setelah itu ia bekerja sebagai jurnalis di berbagai surat kabar nasional seperti
De Express dan Tjahaja Timoer, di mana tulisan-tulisannya yang kritis terhadap kolonialisme Belanda menjadikan ia dikenang sebagai wartawan berani dan intelektual pejuang.
Pada 1913, melalui artikel berjudul “
Als ik een Nederlander was” (Jika Aku Seorang Belanda)”, ia secara terbuka mengecam rencana pemerintah Belanda yang meminta kontribusi dana dari rakyat pribumi untuk merayakan kemerdekaan Belanda. Karena tulisan itu, ia dieksil ke Belanda bersama tokoh pergerakan lainnya.
Selama di Belanda, ia memperoleh sertifikat pengajar Eropa, mempelajari filosofi pendidikan ala Froebel dan Montessori, serta memahami gagasan pendidikan modern sebagai alat membebaskan bangsa.
Tahun 1922 menjadi momen penting dalam hidupnya: pada 3 Juli ia mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta—lembaga pendidikan untuk rakyat pribumi yang menekankan nasionalisme, karakter bangsa, dan keadilan sosial. Ia mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara untuk membuat dirinya setara dengan rakyat, serta menggunakan slogan terkenal: “Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani.”
Saat Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, ia diangkat sebagai Menteri Pengajaran (pendidikan, kebudayaan, dan pengajaran) di kabinet pertama. Ia diakui sebagai Bapak Pendidikan Nasional oleh Pemerintah RI, dan 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar wafat di Yogyakarta pada 26 April 1959 dan dimakamkan di Taman Wijaya Brata. Pemerintah kemudian menganugerahinya gelar
Pahlawan Nasional pada 28 November 1959 serta gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Gadjah Mada.
5. Sutan Sjahrir (5 Maret 1909 – 9 April 1966)
Foto: Ilustrasi Sutan Sjahrir berpidato. (via Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Brawijaya)
Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatra Barat, dari keluarga Minangkabau terpelajar. Ia menempuh pendidikan formal awal di Medan dan Bandung, sebelum melanjutkan studi hukum di University of Amsterdam dan Leiden University di Belanda. Di Eropa, Sjahrir aktif dalam organisasi pelajar Perhimpunan Indonesia dan
Jong Indonesie, serta mengembangkan pandangan sosialisme demokratik yang moderat.
Pada awal 1930-an, ia kembali ke Hindia Belanda dan membantu mendirikan serta menghidupkan Partai Nasional Indonesia bersama Mohammad Hatta.
Karena aktivitas politiknya, ia pernah dipenjara dan diasingkan ke Boven Digoel dan Banda Neira oleh Belanda. Selama pendudukan Jepang, ia memilih untuk mundur dari publik dan membentuk jaringan bawah tanah, sambil mempersiapkan diri sebagai sosok oposisi.
Menjelang kemerdekaan, Sjahrir menulis pamflet berjudul “
Perdjoeangan Kita” (Our Struggle) pada Oktober 1945 untuk mengarahkan perjuangan revolusi dengan pendekatan rasional, toleransi, dan demokrasi. Pamflet ini membuatnya dipercaya sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia pada usia 36 tahun (1945–1947) oleh Presiden Soekarno, karena dianggap sebagai figur republik yang netral dan intelektual.
Sebagai perdana menteri, ia memimpin perundingan penting seperti Perjanjian Linggadjati (1946), yang menjadi momen strategis dalam diplomasi revolusi. Namun, tekanan politik, konflik ideologi dengan kelompok militer dan gerakan kiri, termasuk tahanan dan intervensi internal, memaksanya mengundurkan diri pada pertengahan 1947 dan membubarkan kabinetnya.
Pada 1948, Sjahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) untuk melawan pengaruh PKI dan menegaskan demokrasi liberal, pluralisme, serta kritik terbuka terhadap otoritarianisme. Partai ini aktif hingga akhirnya dilarang pada 1960 karena dukungannya terhadap pemberontakan di Sumatra atas kebijakan rezim Sukarno .
Karier politiknya meredup di masa akhir Orde Lama—ia ditahan tanpa pengadilan pada awal 1960-an dan mengalami tekanan kesehatan. Ia menjalani pengobatan di Zurich, Swiss, dan meninggal dunia pada 9 April 1966. Di hari yang sama Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan No. 76/1966 yang menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional Indonesia sekaligus memperingati kepergiannya
6. Soepomo (22 Januari 1903 – 12 September 1958)
Foto: Soepomo. (Daan Noske)
Soepomo lahir di Sukoharjo, Jawa Tengah, dari keluarga priyayi Jawa yang menjunjung tinggi tradisi dan pendidikan. Ia menjalani pendidikan dasar di Europeesche Lagere School di Boyolali dan kemudian di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Solo. Ia melanjutkan pendidikan hukum di
Bataviasche Rechtsschool (Batavia) dan lulus pada 1923.
Berbekal prestasi akademik, Soepomo kemudian menempuh pendidikan lanjut di Universitas Leiden, Belanda, dan meraih gelar Meester in de Rechten dengan predikat
summa cum laude, serta gelar Doctor in de Rechtsgeleerdheid dengan disertasi mengenai sistem agraria Surakarta.
Soepomo dikenal sebagai ahli hukum dan intelektual yang menonjol. Ia aktif di organisasi Jong Java dan menjadi dosen tamu dalam bidang hukum adat di Rechtshoogeschool Batavia. Setelah kembali ke Indonesia, ia mengabdikan diri di mahkamah negeri dan kemudian di departemen kehakiman kolonial.
Dalam sidang BPUPKI, Soepomo memimpin Panitia Perumus Materi UUD 1945 pada Juli 1945, dan merancang kerangka konstitusi yang menekankan negara integralistik—harmoni sosial dan kekeluargaan nasional tanpa konflik politik atau kelas. Ia bekerja bersama Soekarno dan Mohammad Yamin sebagai perancang Undang?Undang Dasar 1945, yang disahkan pada 18 Agustus 1945.
Setelah kemerdekaan, ia dilantik menjadi Menteri Kehakiman pertama RI (Agustus–November 1945) dan kembali menjabat pada akhir 1949 hingga September 1950. Selain itu, Soepomo juga menjabat sebagai Presiden (Rektor) Universitas Indonesia kedua (1951–1954) dan pernah menjadi Duta Besar Indonesia untuk Inggris (1954–1956).
Soepomo wafat di Jakarta pada 12 September 1958 karena serangan jantung dan dimakamkan di Surakarta. Pada 1965, Presiden Soekarno menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional atas kontribusinya sebagai Bapak Konstitusi Indonesia—perancang utama UUD 1945 yang meletakkan dasar hukum dan identitas negara.
7. Sayuti Melik (22 November 1908 – 27 Februari 1989)
Foto: Sayuti Melik. (Istimewa)
Sayuti Melik lahir di Desa Kadilobo, Rejodani, Sleman, Yogyakarta, pada 25 November 1908. Ia tumbuh dalam keluarga nasionalis—ayahnya, Abdul Muin (Partoprawito), seorang lurah yang menentang kebijakan kolonial Belanda. Sejak muda, Sayuti sudah tertarik pada politik dan menentang kekuasaan kolonial, hingga sempat ditangkap Belanda ketika belajar di Sekolah Guru di Solo.
Pada 1938, ia menikah dengan Soerastri Karma Trimurti, seorang wartawati dan aktivis perempuan. Bersama istrinya, Sayuti mendirikan surat kabar Pesat di Semarang yang menggugat kebijakan penjajah. Keduanya berkali-kali dipenjara oleh pemerintahan kolonial karena kritikan melalui tulisan.
Menjelang Proklamasi, Sayuti tergabung dalam kelompok Menteng 31 yang mendesak Soekarno dan Hatta agar cepat memproklamasikan kemerdekaan. Pada 16 Agustus 1945, mereka ikut menculik Sukarno dan Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan pengawalan strategis. Malam harinya, di kediaman Laksamana Maeda, Soekarno-Hatta bersama Achmad Soebardjo merumuskan teks Proklamasi.
Sayuti diminta mengetiknya dan menyarankan agar tanda tangan hanya Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia—saran itu kemudian diterima. Ia membuat beberapa perubahan penting seperti mengganti frasa “wakil?wakil bangsa Indonesia” menjadi “atas nama bangsa Indonesia”.
Setelah kemerdekaan, Sayuti aktif dalam badan legislatif sebelumnya—KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)—dan terlibat dalam struktur awal pemerintahan. Ia pernah ditahan pada 1946 atas dugaan terkait Peristiwa 3 Juli, tetapi kemudian dibebaskan karena tidak terbukti bersalah.
Saat Belanda melancarkan agresi kembali pada 1948, Sayuti ditahan oleh pasukan Belanda di Ambarawa dan baru dibebaskan setelah Konferensi Meja Bundar pada akhir 1949.
Dalam era demokrasi, Sayuti mengambil posisi netral dan menjadi tokoh moderat. Ia menentang sistem Nasakom dan memberikan kritikan terbuka terhadap perkembangan politik yang dipandu oleh ideologi tertentu di bawah kepemimpinan Sukarno. Ia kemudian menjadi anggota DPR/MPR mewakili Angkatan '45 (Fraksi Golkar) antara 1971–1982.
Sayuti Melik wafat di Jakarta pada 27 Februari 1989 dalam usia 80 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pemerintah menghargai jasa-jasanya: ia dianugerahi Bintang Mahaputra Nararya V pada 1961 oleh Presiden Soekarno dan Bintang Mahaputra Adipradana II pada 1973 oleh Presiden Soeharto.
8. Mohammad Yamin (24 Agustus 1903 – 17 Oktober 1962)
Foto: Mohammad Yamin. (Wikimedia Commons)
Mohammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto, Sumatra Barat, dari keluarga Minangkabau yang taat dan berpendidikan. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di HIS Palembang, kemudian melanjutkan ke AMS Yogyakarta dan Rechtshogeschool Batavia, di mana ia memperoleh gelar Meester in de Rechten (sarjana hukum).
Yamin dikenal sebagai pelopor puisi modern Indonesia melalui karyanya Tanah Air (1922), serta sebagai tokoh intelektual yang menjembatani perjuangan kultural dan politik. Selain menulis puisi patriotik seperti Tumpah Darahku, ia juga menciptakan drama dan buku sejarah yang mempromosikan semangat nasionalisme dan kejayaan masa lalu Nusantara, seperti Ken Arok dan Ken Dedes dan Gadjah Mada.
Di bidang politik, Yamin menjadi anggota
Volksraad (Dewan Rakyat kolonial) dan aktif menyuarakan pentingnya bahasa Indonesia sebagai simbol persatuan.
Ia adalah salah satu penggagas Sumpah Pemuda 1928. Dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, ia mengusulkan lima asas dasar negara: kebangsaan, kemanusiaan, ketuhanan, kerakyatan, dan kesejahteraan sosial—yang kemudian menjadi cikal bakal Pancasila.
Yamin juga berperan dalam penyusunan UUD 1945 dan dikenal karena ide-idenya tentang negara hukum dan Mahkamah Konstitusi, jauh sebelum lembaga itu dibentuk.
Setelah kemerdekaan, ia menjabat sebagai Menteri Kehakiman, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, serta Menteri Penerangan. Ia dikenal sebagai tokoh yang menjembatani antara budaya, hukum, dan negara.
Mohammad Yamin wafat di Jakarta pada 17 Oktober 1962 dan dimakamkan di kampung halamannya. Ia dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1973 dan dikenang sebagai tokoh perumus dasar negara dan sastrawan perintis nasionalisme Indonesia.
9. Jenderal Besar Raden Soedirman (24 Januari 1916 – 29 Januari 1950)
Foto: Jenderal Soedirman. (Istimewa)
Jenderal Soedirman lahir di Desa Bodas Karangjati, Purbalingga, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga sederhana, namun sejak kecil telah menunjukkan kedisiplinan dan semangat belajar yang tinggi. Ia menempuh pendidikan di HIS dan kemudian melanjutkan ke sekolah guru Wirotomo di Solo.
Di masa muda, Soedirman aktif dalam organisasi keagamaan Muhammadiyah dan menjadi anggota aktif Hizbul Wathan, yang membentuk karakter kepemimpinan dan militansinya.
Setelah menyelesaikan pendidikan, Soedirman menjadi guru dan kemudian kepala sekolah dasar Muhammadiyah di Cilacap. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dalam organisasi militer Pembela Tanah Air (PETA) dan diangkat sebagai komandan batalion di Banyumas. Ketegasannya, wibawa alaminya, dan keberaniannya membuatnya disegani oleh bawahannya maupun atasannya.
Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Soedirman diangkat sebagai Panglima Divisi V TKR di Purwokerto. Namanya melesat setelah keberhasilannya memimpin Serangan Ambarawa pada akhir 1945.
Berkat kemenangan tersebut, ia secara resmi diangkat sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat (TKR), cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), melalui pemilihan dalam Konferensi TKR di Yogyakarta.
Pada masa Agresi Militer Belanda II tahun 1948, meskipun dalam keadaan sakit parah akibat tuberkulosis, Soedirman memimpin perang gerilya melintasi wilayah Jawa selama lebih dari tujuh bulan. Dengan ditandu, ia tetap memimpin pasukannya keluar masuk hutan dan desa, mempertahankan eksistensi Republik dan membuktikan bahwa tentara rakyat tidak bisa dihancurkan.
Strategi gerilya yang ia terapkan berhasil menggoyahkan kekuatan Belanda dan menjaga moral rakyat dan tentara tetap tinggi.
Setelah Belanda mulai menarik diri dan pengakuan kedaulatan Republik Indonesia semakin dekat, Soedirman kembali ke Yogyakarta pada pertengahan 1949.
Namun kesehatannya terus memburuk. Ia wafat di Magelang pada 29 Januari 1950, dalam usia yang sangat muda—baru 34 tahun. Jenderal Soedirman dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Yogyakarta, dengan penghormatan militer penuh.
10. Achmad Soebardjo (23 Maret 1896 – 15 Desember 1978)
Foto: Achmad Soebardjo. (Istimewa)
Achmad Soebardjo lahir di Teluk Jambe, Karawang, dari keluarga berdarah Aceh-Bugis-Jawa. Ayahnya, Teuku Muhammad Yusuf, berasal dari Aceh dan pernah menjadi jaksa di Batavia, sementara ibunya, Wardinah, berasal dari kalangan priyayi Jawa-Bugis. Latar belakang keluarga ini memberinya akses pendidikan yang baik dan semangat kebangsaan yang kuat sejak muda.
Ia menempuh pendidikan di sekolah Eropa (ELS dan HBS) sebelum melanjutkan studi hukum ke Universitas Leiden di Belanda dan memperoleh gelar
Meester in de Rechten.
Sekembalinya ke Indonesia, ia menjadi tokoh penting dalam pergerakan kemerdekaan. Pada masa pendudukan Jepang, ia ditunjuk menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan kemudian Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ia juga tergabung dalam Panitia Sembilan yang menyusun Piagam Jakarta, cikal bakal pembukaan UUD 1945.
Achmad Soebardjo memainkan peran kunci dalam peristiwa menjelang Proklamasi 17 Agustus 1945.
Saat Soekarno dan Hatta diculik ke Rengasdengklok oleh golongan muda, Soebardjo menjadi negosiator utama yang meyakinkan kelompok pemuda untuk melepaskan keduanya dan menjamin bahwa proklamasi kemerdekaan akan segera dilaksanakan.
Ia kemudian turut merumuskan teks Proklamasi di rumah Laksamana Maeda bersama Soekarno dan Hatta pada malam 16–17 Agustus 1945.
Setelah kemerdekaan, Soebardjo diangkat sebagai Menteri Luar Negeri pertama Republik Indonesia.
Di masa-masa awal Republik, ia ikut serta dalam berbagai perundingan penting dengan Belanda dan pihak asing lainnya.
Pada tahun-tahun berikutnya, ia juga menjabat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Swiss dan turut mendirikan Akademi Dinas Luar Negeri sebagai wadah mencetak diplomat Indonesia. Selain itu, ia dikenal sebagai tokoh yang rendah hati dan menjauh dari sorotan politik praktis setelah masa revolusi.
Achmad Soebardjo wafat pada 15 Desember 1978 di Jakarta dan dimakamkan di Cipayung, Bogor. Atas jasanya dalam perjuangan kemerdekaan dan diplomasi Republik, ia dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional Indonesia.
Kesepuluh tokoh ini mewakili berbagai aspek penting perjuangan: mulai dari politik dan proklamasi, pendidikan dan pemikiran ideologis, hingga diplomasi dan aktivisme sosial. Menginjak usia 80 tahun kemerdekaan, profil mereka memberikan pelajaran mendalam tentang keberagaman bentuk pengorbanan dan kecerdasan kolektif membangun Indonesia merdeka.