Sebuah parade LGBT. Foto: Anadolu
Muhammad Reyhansyah • 10 September 2025 17:28
Hong Kong: Legislator Hong Kong dijadwalkan memberikan suara pada 10 September 2025 terkait Rancangan Undang-Undang yang memberikan hak terbatas bagi pasangan sesama jenis, di tengah kekhawatiran komunitas LGBTQ bahwa usulan ini bisa ditolak oleh dominasi suara konservatif pro-Beijing.
Pemerintah Hong Kong mengajukan rancangan tersebut pada musim panas, dengan ketentuan hanya berlaku bagi pasangan yang pernikahannya telah terdaftar secara sah di luar negeri.
Meski dianggap terlalu sempit oleh aktivis, RUU ini justru menuai kritik luas dari politisi pro-Beijing yang menguasai dewan legislatif. Hingga kini, hanya sekitar belasan dari 89 anggota yang secara terbuka menyatakan dukungan.
Amnesty International dalam pernyataan yang dikutip The Straits Times, Rabu, 10 September 2025 menilai Hong Kong gagal mengikuti tren regional menuju kesetaraan.
“Pemerintah Hong Kong tidak hanya gagal mengikuti tren regional menuju kesetaraan, tetapi juga mengajukan RUU yang jauh dari standar hak asasi manusia internasional,” tulis organisasi tersebut, sembari tetap mendesak legislator untuk meloloskannya.
Dorongan lahirnya RUU ini berawal dari putusan pengadilan tertinggi pada 2023 yang memerintahkan pemerintah menciptakan “kerangka alternatif” setelah menolak pengakuan pernikahan sesama jenis.
Pemerintah Hong Kong menegaskan bahwa pernikahan di Hong Kong tetap hanya antara laki-laki dan perempuan, namun pada Juli mengajukan sistem registrasi bagi pasangan sesama jenis yang telah diakui di luar negeri.
Pasangan terdaftar nantinya akan memperoleh sejumlah hak, terutama dalam urusan medis dan pengaturan pasca-kematian, misalnya hak menjenguk pasangan di rumah sakit atau mengurus jenazah setelah wafat. Lebih dari 10.000 surat dukungan dikumpulkan pada Juli, salah satunya menyebut, “Bagi pasangan sesama jenis seperti saya dan pasangan, (RUU ini) memberikan lapisan pengakuan hukum yang sangat dibutuhkan.”
Namun sejumlah warga mendesak agar cakupan diperluas. Dalam sebuah surat, penulis bernama Gallam Zhang meminta aturan tidak terbatas pada pasangan yang bisa menikah di luar negeri. “Karena kondisi fisik saya, saya tidak mampu bepergian dan tinggal di luar negeri dalam waktu lama,” tulis Zhang.
Meski parlemen Hong Kong tidak pernah menolak RUU pemerintah, kali ini terjadi perpecahan. Tiga partai pro-establishment terbesar menentang dengan alasan mempertahankan nilai keluarga tradisional. Di Tiongkok, pernikahan sesama jenis tetap ilegal dan stigma sosial masih meluas.
Kondisi politik Hong Kong sendiri berubah sejak diberlakukannya Undang-Undang Keamanan Nasional pada 2020, yang membuat oposisi dan masyarakat sipil semakin tertekan. Pada Juli lalu, karnaval tahunan yang mendukung hak LGBTQ dibatalkan setelah panitia gagal mendapat izin lokasi.
Pemerintah hanya memberi waktu tujuh hari untuk masyarakat menyampaikan pandangan tertulis. Dari 10.800 masukan, 80 persen menolak, meski kelompok advokasi Hong Kong Marriage Equality menilai sekitar setengah menggunakan template seragam dari kelompok tertentu.
“(Pemerintah) tidak boleh membiarkan pihak-pihak dengan motif tersembunyi menggunakan slogan kesetaraan untuk mengancam stabilitas dan harmoni masyarakat Hong Kong,” demikian bunyi salah satu pernyataan yang menentang.
Hasil temuan ini bertolak belakang dengan survei tiga universitas pada 2023 yang menunjukkan 60 persen responden di kota itu mendukung pernikahan sesama jenis. Sementara itu, lebih dari 30 organisasi hak LGBTQ Asia dalam surat bersama pada 8 September mendesak pemerintah menyiapkan rencana alternatif jika RUU ditolak.