Ratusan alumni lintas generasi berkumpul hadir kongres Ikatan Alumni Elektro ITS (ELITS). (Foto: Dok.)
Patrick Pinaria • 30 September 2025 17:06
Jakarta: Suasana ballroom Jasaraharja tempat kongres Ikatan Alumni Elektro ITS (ELITS) dihelat hari itu terasa penuh energi. Ratusan alumni lintas generasi berkumpul, sebagian datang dari dunia industri, sebagian lain dari lembaga pemerintah dan startup, bahkan ada yang sudah dikenal publik sebagai tokoh nasional. Namun, fokus semua mata tertuju pada tema besar yang diusung: 'Elektro vs Artificial Intelligence: Powering the Future.'
Tema ini bukan sekadar jargon. Di tengah gempuran teknologi, semua sepakat bahwa elektro, sebagai disiplin ilmu klasik yang melahirkan insinyur-insinyur andal, kini harus berdialog serius dengan artificial intelligence (AI), yang menjadi arus besar perubahan dunia. Dan dalam forum itu, empat tokoh utama memberikan sudut pandang berbeda, lengkap dengan refleksi, kritik, hingga tawaran jalan ke depan.
Prof Adhi Dharma Wibawa: AI, etika, dan PR panjang Indonesia
Sesi pencerahan dari paparan menghadirkan empat narasumber, salah satunya Prof Dr Ir Adhi Dharma Wibawa, Kepala Pusat Studi Kecerdasan Artifisial dan Teknologi Digital ITS. Dari awal, ia menggarisbawahi betapa pentingnya forum seperti kongres ini.
"Acara ini sangat positif, Saya kira alumni elektro hanya berkecimpung di bidang elektro, ternyata ada yang jadi pengusaha karung, ada juga yang buka
catering. Itu mengejutkan sekaligus membanggakan. Topiknya pun relevan, bagaimana kolaborasi alumni diperkuat dengan perkembangan teknologi AI," ujarnya mantap.
Prof Adhi mencontohkan penerapan sederhana AI. "Di industri karung misalnya, dengan memanfaatkan data lampau, situasi pasar, atau perilaku konsumen, AI bisa diberdayakan untuk meningkatkan daya saing. Prediksi pasar, pola perilaku konsumen, analisis kompleks berbasis big data, semuanya pas untuk AI," paparnya.
Namun, ia juga mengingatkan kesiapan Indonesia belum sepenuhnya matang. "Kalau bicara kesiapan, banyak aspek yang harus dipertimbangkan. Infrastruktur salah satunya. Bayangkan kita ingin membuat ChatGPT berbahasa Jawa. Itu butuh
hardware mahal untuk mesin belajar, dataset bahasa Jawa yang harus dikumpulkan dan diolah. Sementara negara-negara maju sudah jauh melangkah," jelasnya.
Adhi juga menyinggung kelemahan Indonesia pada aspek kelistrikan. "Singapura lebih stabil dalam
supply listrik. Kita di Indonesia masih ada kekhawatiran. Kalau mesin pembelajar sedang running lalu listrik padam, itu jadi isu serius," katanya.
Isu lain yang ia tekankan adalah etika. Adhi mengilustrasikan anak SMP atau SD saat ini yang sudah pintar menggunakan AI.
"Ada yang pakai aplikasi generatif untuk bikin gambar gurunya, lalu dipelesetkan. Bagi mereka itu mainan, tapi ada etika yang dilanggar. Harus ada regulasi etik dan tata krama penggunaan AI, termasuk pembatasan usia untuk aplikasi tertentu," tuturnya panjang lebar.
(Foto: Dok.)
Meski begitu, ia tetap optimistis. Menurutnya bila bicara inovasi, tidak ada bangsa yang lebih pintar dari yang lain. Inovasi lahir dari kreativitas. Bahkan orang tanpa latar belakang IT pun kini bisa membuat aplikasi berbasis AI.
"Jadi sebenarnya kita bisa menjadi produsen, bukan hanya pengguna. Tapi itu harus difasilitasi, diberi regulasi, dan dikawal agar tumbuh sehat," jelasnya.
Prof. Adhi juga memberi contoh nyata dari mahasiswa ITS. "Ada mahasiswa buat aplikasi bernama Glowing. Dari foto wajah di HP, aplikasi memberi saran bedak, vitamin, bahkan olahraga. Itu masuk Playstore hanya dengan upload PDF izin sederhana. Padahal menyentuh aspek kesehatan, ada etik yang dilanggar. Itu menunjukkan lemahnya koridor regulasi. Semua lolos begitu saja," ungkapnya kritis.
Ia menutup dengan ajakan kolaborasi. "Kalau dengan perusahaan besar seperti Google atau Telkom, mungkin kolaborasi bisa di
hardware komputasi. Tapi untuk membangun etika penggunaan AI, pemerintah dan lembaga pendidikan harus terlibat. Mumpung masih awal, etika harus ditanamkan," ujarnya.
Adir Ginting: Google, inovasi, dan kritik untuk ITS
Dari panggung global, hadir Adir Ginting, Head of Enterprise Sales Google Indonesia. Ia mengawali dengan alasan kehadirannya. "Tema ini sangat relevan. Semua orang sekarang bicara AI. Saya ingin memberi insight: apa yang terjadi di dunia, di Indonesia, di sekitar kita. Harapan saya, IKA ELITS bisa jadi wadah agar alumni dan mahasiswa relevan dengan perubahan cepat ini," ujarnya
Adir menekankan pergeseran besar dalam AI. Kalau dulu diskusi tentang AI sebatas efisiensi, namun sekarang AI sudah
shifting menjadi
powerhouse of innovation. Maka dari itu alumni dan mahasiswa harus menyadari perubahan ini. Ia menambahkan, AI sudah masuk ke kehidupan sehari-hari.
"Anak-anak muda sudah pakai Gemini, pakai ChatGPT. Untuk tugas sekolah, untuk ngobrol dengan teman. Bahkan industri besar sekarang invest masif. Google saja awalnya umumkan USD75 miliar, lalu direvisi jadi USD85 miliar. Itu bukti AI bukan
hype. AI akan
stay, akan jadi bagian hidup kita," jelasnya.
Baginya, relevansi sangat penting. "
To be relevant. Beberapa nama yang disebut tadi sudah tidak relevan.
Relevant in the room
justru tidak disebut. Google adalah yang menginvensi modern AI. ITS harusnya tidak abai," ujarnya.
(Foto: Dok.)
Meski begitu, ia menyimpan harapan. "Banyak alumni sudah jadi direksi BUMN atau perusahaan besar. Filosofinya sederhana:
build the ecosystem. Kalau kita semua masuk dalam ekosistem, akan lahir
economies of scale. Itu filosofi Google juga. Semoga kepengurusan baru ELITS bisa membangun ekosistem itu," ungkapnya.
Faizal Rochmad Djoemadi: Telkom dan ekosistem AI nasional
Sesi paparan yang cukup panjang datang dari Faizal Rochmad Djoemadi, Direktur IT Digital Telkom Indonesia. Ia berbicara bukan hanya sebagai praktisi, tapi juga sebagai alumni elektro ITS yang paham dinamika organisasi.
Faizal membuka dengan refleksi perannya sebagai ketua IKA ELITS periode sebelumnya. "Program utama saya waktu itu adalah Connecting the Dot. Alumni senior membimbing adik-adiknya.
Networking yang tidak kita dapat di kampus, kita bangun lewat organisasi. Ada
mentoring,
coaching, sampai grup hobi: sepak bola, motoran, camping. Dari situ jejaring terbentuk," ujarnya.
Beranjak ke ranah industri, ia menjelaskan strategi Telkom. "Connectivity sudah keahlian Telkom. Tapi kita harus
go beyond connectivity. Karena itu, kita bangun empat horizontal platform: AI, IoT,
cloud service, dan
cyber security. Lalu ada 12 vertical
solution per sektor industri:
health,
insurance,
mining,
banking, transportasi, dan seterusnya. Karena tiap sektor butuh solusi berbeda," jelasnya rinci.
Telkom, katanya, tidak bisa sendirian. BUMN ini membutuhkan partner: dari akademisi, startup, global partner, regulator, hingga media.
"Akademisi punya keahlian spesifik,
startup sudah punya solusi niche, regulator mengatur etika dan kedaulatan data, media penting untuk edukasi publik. Itulah konsep Pentahelix," ungkapnya.
Sektor transportasi ia sebut sebagai prioritas. Faizal menandaskan bahwasannya spending ICT transportasi tidak sebesar
banking, namun pertumbuhannya mencapai 33 persen, yang menjadi paling tinggi.
"Itu artinya kebutuhan digitalisasi transportasi besar sekali. IoT untuk sensor, AI untuk rute efisien, cloud untuk data,
security untuk proteksi. Jadi transportasi harus jadi prioritas," papar Faizal.
Ia juga menyinggung isu SDM. "Talent AI untuk hilirisasi cukup banyak. Universitas-universitas STEM menghasilkan banyak. Tapi untuk hulu, membuat
basic research, itu yang kurang. Bukan salah universitas atau BRIN, tapi mungkin dukungan pemerintah masih lemah, terutama pendanaan riset dasar," jelasnya.
(Foto: Dok.)
Soal
revenue, Faizal jujur. "AI di tahap awal meningkatkan produktivitas, menurunkan
cost. Itu otomatis menaikkan
profit. Tahap berikutnya, AI bisa
create produk baru, fitur baru, sesuai kebutuhan spesifik
customer. Itu yang akan dorong
revenue baru. Jadi
impact langsung ke
revenue mungkin tidak, tapi
indirect, iya," katanya.
Ia juga mengingatkan soal risiko. "Setiap teknologi baru pasti ada risiko. Kalau dulu pelanggaran privasi hanya soal foto, sekarang AI bisa bikin dua orang seolah berpelukan padahal tidak. Itu sudah
beyond etik. Tapi saya bilang, ini
nice problem.
Problem karena kemajuan. Kita hadapi bersama," ujarnya.
Cak Lontong: Guyub, mobil otonom, dan humor yang visioner
Di penghujung acara, suasana mencair ketika Lies Hartono, lebih dikenal publik sebagai Cak Lontong, resmi dilantik menjadi Ketua Umum IKA ELITS 2025. Dengan gaya khasnya, ia membuka sambutan penuh humor.
"Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada Mas Faizal yang sudah memimpin dengan baik. Kita tinggal melanjutkan dan meningkatkan. Tujuannya satu: merangkul lebih banyak alumni, bersinergi, lebih solid dan kompak," katanya.
Namun, ia juga serius menanggapi tema AI. "Tadi disebutkan tidak ada pekerjaan yang tidak bisa digantikan AI. Kecuali kalau kita sendiri memanfaatkan AI itu. Jadi kita harus berdaya, bukan kalah. AI harus kita pakai untuk kehidupan yang lebih baik," tegasnya.
Cak Lontong menekankan pentingnya sinergi lintas generasi. "Alumni muda energinya luar biasa. Kita yang senior memberi arah dan mengayomi. Kalau disatukan, sinerginya luar biasa. Dari situ akan lahir ide-ide yang belum kita bayangkan," ujarnya
Ia pun memaparkan program konkret, dengan menyiapkan
event olahraga, kegiatan informal/santai, hiburan, juga seminar.
"Bahkan ada proyek dengan kampus yang akan kita
support. Kalau dulu ada mobil listrik dari Jakarta ke Surabaya, ke depan kita siapkan mobil tanpa supir. Bukan mobil rusak, ya, tapi mobil otonom," katanya, disambut aplaus audiens.
(Foto: Dok.)
Bukan hanya para pembicara utama yang memberikan refleksi. Suara dari audiens juga menambah warna dalam diskusi ini. Dian Purnomo, peserta seminar sekaligus Ketua Alumni Elektro ITS Jawa Timur, mengaku terkesan dengan format kongres tahun ini.
"Acara ini sangat positif, sangat baik karena mempertemukan banyak profesional alumni elektro yang sudah bekerja di berbagai bidang," ujarnya.
Ia mengaku sempat terkejut karena sebelumnya mengira alumni elektro hanya berkiprah di bidang teknik semata. "Ternyata ada juga yang jadi pengusaha karung, ada yang bergerak di catering. Jadi Kongres ini membuka mata bahwa alumni elektro ITS tersebar luas di banyak sektor," tuturnya.
Bagi Dian, tema AI sangat relevan. Ia menilai penerapan
artificial intelligence kini merambah semua bidang, bahkan digunakan oleh anak-anak sekolah dasar.
"Sekarang eranya adalah bagaimana acara-acara seperti Kongres ini bisa mendorong tumbuhnya komunitas yang memberdayakan
artificial intelligence dalam berbagai aspek kehidupan," katanya penuh keyakinan.
Namun, ia juga menyoroti tantangan kesiapan Indonesia. "Perkembangan AI begitu masif, tapi harus diikuti daya adaptasi pemerintah. Banyak aspek yang harus disiapkan: infrastruktur, SDM, sampai etika. Bahkan regulasi etik penggunaan AI oleh anak-anak sekolah pun belum ada," ungkapnya.
Dian memberi contoh sederhana. "Anak SD bisa membuat gambar gurunya dengan AI, lalu memelesetkannya. Bagi mereka itu mainan, tapi ada etika yang dilanggar. Jadi hal kecil itu pun harus diatur," katanya.
Sebagai Ketua Alumni Jawa Timur, ia juga melihat potensi kongres ini sebagai ajang menyatukan jejaring. "Kongres ini bisa jadi tempat sinergi. Harapannya ada kerja sama lintas sektor, dan AI bisa terlibat dalam proses bisnis alumni. Dengan begitu, alumni bisa lebih kompetitif," tambahnya.
Menenun masa depan
Dari awal hingga akhir, kongres ini seperti mozaik. Prof Adhi mengingatkan pentingnya etika dan kesiapan. Adir Ginting menohok soal relevansi dan ekosistem. Faizal Rochmad Djoemadi membuka peta industri dan peluang revenue. Cak Lontong menyatukan semuanya dalam bahasa sederhana: guyub dan solid.
(Foto: Dok.)
Kehadiran suara alumni senior seperti Dian Purnomo menegaskan diskusi tentang AI bukan hanya wacana elit. Dari pengusaha karung hingga akademisi, dari kampus hingga industri besar, semua punya peran dalam menyiapkan Indonesia.
Masa depan, seperti ditekankan dalam forum ini, bukan hanya milik mereka yang menciptakan teknologi, tetapi juga mereka yang berani memaknainya dan menjadikannya bermanfaat bagi masyarakat luas.
Pesannya jelas: AI bukan lagi sekadar tren, tapi arus utama yang akan menentukan masa depan. Indonesia tidak boleh hanya jadi penonton atau pasar. Dari forum alumni elektro ITS inilah lahir komitmen untuk berperan lebih besar, baik sebagai inovator, regulator, maupun penggerak ekosistem.
Dan mungkin benar kata Cak Lontong, "AI memang bisa menggantikan banyak pekerjaan, tapi jangan sampai menggantikan semangat kita untuk bersinergi."
Akhirnya, masa depan bukan hanya tentang teknologi, melainkan tentang manusia yang mampu memaknainya. AI hanyalah mesin, tetapi nilai sejati terletak pada keberanian kita untuk berkolaborasi, menjaga etika, dan menyalakan harapan. Dari ruang kongres alumni ini, lahir keyakinan bahwa Indonesia mampu menenun masa depan yang lebih adil, inklusif, dan berdaya saing.