Dugaan Kerugian Korupsi Timah Rp300 T Dikaji

Ilustrasi. Medcom.id

Dugaan Kerugian Korupsi Timah Rp300 T Dikaji

Candra Yuri Nuralam • 6 September 2024 16:15

Jakarta: Dugaan kerugian atas korupsi di PT Timah hingga mencapai Rp300 triliun, ditelaah. Kasus tersebut menyeret nama Harvey Moeis terkait tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah Tbk tahun 2015-2022.

Ketua Harian Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Eka Mulya Putra, mengatakan ada penghitungan yang tak fair. Mengingat, aktivitas penambangan timah di Bangka Belitung (Babel) sudah berlangsung sejak lama.

"Penambangan timah yang telah berlangsung bertahun-tahun di Bangka Belitung seharusnya tidak menjadi beban semata bagi mereka yang baru terlibat dalam pengusutannya dari tahun 2015 hingga 2022," ungkap Eka dalam keterangan yang dikutip Jumat, 6 September 2024.

Eka mengatakan penambangan timah di wilayah tersebut telah dilakukan sejak zaman kerajaan Sriwijaya hingga zaman kolonial. Artinya, kata dia, masalah ini jauh lebih kompleks dengan sejarah yang panjang.

Sehingga, keberadaan penambang rakyat yang melakukan aktivitas penambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambanagn (IUP) milik PT Timah, tidak bisa serta merta dipandang sebagai aktivitas ilegal yang merugikan negara.

Di sisi lain, dia melihat kerja sama antara PT Timah dan pihak swasta. Menurut dia, MoU yang terjalin pasti didasarkan pada prinsip saling menguntungkan.

"Kerja sama yang telah bertahan lama pasti memiliki dasar keuntungan bagi semua pihak. Jika ada pihak yang dirugikan, kerja sama tersebut tidak mungkin bertahan selama ini," tegas Eka.

Ia menduga adanya masalah dalam tata kelola yang mungkin menyebabkan persoalan-persoalan baru seperti yang terjadi saat ini. Namun, Eka menegaskan bahwa kesalahan dalam tata kelola tidak bisa sepenuhnya dilimpahkan pada individu atau pihak tertentu.

"Masalah tata kelola menyangkut aturan dan regulasi yang berlaku, dan ini tidak bisa hanya disandangkan pada mereka yang saat ini terlibat dalam kasus tersebut," jelasnya.
 

Baca Juga: 

PT Timah Klaim Dapat Untung dari Penyewaan Smelter


Hal itu sejalan dengan pernyataan para saksi yang dihadirkan dalam persidangan perkara tersebut sejauh ini. Salah satunya datang dari eks Direktur Operasi dan Produksi PT Timah, Agung Pratama dalam persidangan yang menyatakan bahwa penambang ilegal itu sudah terjadi di wilayah Izin Usaha Penambangan (IUP) PT Timah jauh sebelum adanya kerja sama mitra smelter.

Agung mengatakan, pemerintah dan PT Timah selaku pemilik IUP pada sejumlah lokasi pertambangan di sana sebenarnya bukannya tinggal diam dan tak melakukan penertiban.

Diakui Agung, upaya penertiban terus menerus dilakukan. Bahkan proses hukum terhadap penambang liar juga terus dilakukan. Sayang, upaya tersebut tidak membuahkan hasil.

Menjawab permasalahan tersebut, PT Timah membuat Langkah kemitraan kerja dengan para penambang tersebut dalam bentuk badan usaha berupa PT, CV, dan koperasi. Dalam menjalankan mitra kerja tersebut, sambung dia, kelompok penambang bekerja berdasarkan surat perjanjian kemitraan, serta surat perintah kerja dari PT Timah.

Sementara itu, untuk Izin Usaha Jasa Penambangan (IUJP), Agung berkata, hal tersebut berasal dari pemerintah daerah (pemda), yaitu gubernur Kepulauan Bangka Belitung. IUJP ini digunakan oleh para smelter, baik PT maupun CV dalam menjalankan kemitraan kerja dengan PT Timah.

Berkat kerja sama dengan smelter swasta ini, terungkap dalam persidangan bahawa sebenarnya kerja sama dengan smelter swasta tersebut secara nyata mampu memberikan keuntungan bagi masyarakat dan perusahaan.

Kesimpulan itu sejalan dengan keterangan Kepala proyek CSD dan Washing Plant PT Timah, Ichwan Azwardi yang dihadirkan dalam sidang terbaru yang digelar Kamis, 5 September 2024. Ia memberikan penjelasan penting mengenai beberapa elemen kunci terkait penambangan timah dan program reklamasi yang kini diperkarakan.

Pertama, Ichwan membahas dampak dari kerja sama PT Timah dengan smelter, yang diklaim berhasil membalikkan posisi ekspor timah Indonesia. "Dengan adanya kerja sama smelter, PT Timah berhasil meningkatkan pangsa pasar ekspor timah dari sekitar 25 persen pada tahun 2017 menjadi 90 persen pada tahun 2019," jelas Ichwan.

Data ini mengacu pada laporan ekspor logam dunia dari International Tin Association (ITA). Namun, Ichwan mencatat bahwa meskipun ada peningkatan dalam pangsa pasar ekspor, jumlah total hasil penambangan tidak mengalami perubahan signifikan.

"Jumlah total hasil penambangan tidak berubah secara signifikan sebelum dan sesudah kerja sama smelter," tambahnya.

Data menunjukkan bahwa ekspor logam Indonesia tetap stabil sekitar 80.000 ton pada tahun 2017 dan menurun sedikit menjadi sekitar 79.000 ton pada 2019.

Ini, lanjut dia, bisa dicapai berkat program kemitraan dengan penambang rakyat dengan membeli timah hasil penambangan mereka.

Ichwan Zuwardi menjelaskan bahwa perusahaan memiliki Program SHP (Sisa Hasil Pengolahan) adalah upaya untuk mengambil sisa hasil dari bekas tambang.

"Program SHP tidak melibatkan kegiatan penambangan baru. Hasil dari SHP berupa pasir timah dengan kadar rendah," ungkap Ichwan.

Ia menambahkan bahwa pasir timah dengan kadar rendah tersebut memerlukan proses tambahan untuk meningkatkan kadarnya, yang dikenal dengan istilah washing.

"Proses washing untuk meningkatkan kadar timah dalam pasir memerlukan biaya sekitar 100-200 US$ per ton," kata Ichwan.

Biaya ini mencerminkan tantangan dalam mengolah pasir timah yang dihasilkan dari Program SHP sebelum dapat digunakan dalam produksi logam timah.

Ketika ditanya tentang rencana reklamasi area bekas tambang, Ichwan menyebutkan, reklamasi tidak bisa serta merta langsung dilakukan. Ada banyak aspek yang perlu dipertimbangkan sebelum melakukan reklamasi area bekas tambang rakyat.

"Saya tidak dapat memastikan apakah seluruh area reklamasi seluas 400 hektare merupakan area yang ditambang oleh mitra penambangan PT Timah atau area SHP."

Ia menjelaskan bahwa alasan area SHP belum diprioritaskan untuk reklamasi adalah karena masih terdapat nilai keekonomian dari pasir timah yang dihasilkan.

Selain itu, ada kekhawatiran bahwa jika area SHP direklamasi terlalu cepat, masyarakat mungkin akan membuka kembali area tersebut untuk mendapatkan sisa timah yang belum diolah.

Dengan fakta tersebut, tak heran banyak yang meragukan kebernaran soal perhitungan kerugian negara yang bernilai fantastis mencapai Rp 300 triliun itu.

Ketua Persatuan Civitas Akademika Lintas Perguruan Tinggi Indonesia, Marshal Imar Pratama menyatakan, inti persoalan dalam kasus dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tata niaga timah di IUP PT Timah Tbk 2015-2022 itu adalah di tata Kelola pertimahan.

"Kasus itu muncul karena adanya penambangan oleh rakyat di IUP PT Timah yang biji timahnya dijual ke luar atau ke pihak swasta," ujar pria yang juga menjabat sebagai Staf Pengajar dan Lektor di Universitas Sumatra Barat itu lagi.
 
Baca Juga: 

Rasuah Timah, Saksi Kompak Beberkan Dampak Tambang Rakyat


Soal tata Kelola ini sendiri seolah menjadi permasalahan penambangan pertimahan di Babel dari masa ke masa. Menjadi masalah terus menerus sehingga banyak wilayah seperti menjadi IUP abu-abu, rakyat menambang dinilai ilegal, mau izin juga tidak tahu kemana?

Di sisi lain, regulasi pertimahan juga terkesan terus menerus mengalami perubahan. Suatu masa kewenangan ada di Bupati, lalu ditarik menjadi kewenangan pemerintah pusat, lalu diserahkan menjadi kewenangan Gubernur, terus ditarik ke pusat lagi.

"Di sini pemerintah daerah juga akhirnya jadi susah bersikap. Penambang demo ke Bupati, Bupati bilang bukan keweanangannya, demo ke Gubernur begitu juga. Akhirnya apa? Yah menambang secara illegal," beber Marshal.

Terjalinnya Kerja sama antara PT Timah dan swasta, sebenarnya bisa saling menguntungkan jika tata kelolanya dibenahi, regulasinya juga diperjelas. Dan rakyat juga bisa menambang dengan tenang tidak dikejar-kejar seperti kucing-kucingan.

"Tapi faktanya, IPR (izin Pertambangan Rakyat) dan WPR (Wilayah Pertambangan Rakyat) yang ditunggu-tunggu rakyat hingga kini belum jelas. Padahal kalau dibongkar lagi, tahun 2015 Presiden Joko Widodo juga sudah merencanakan itu, namun hingga saat ini juga tidak terwujud," tegas Marshal.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)