“Kita sering mendapat banyak omong kosong dari Putin, sejujurnya. Dia selalu tampak ramah, tapi pada akhirnya itu tidak berarti apa-apa,” ujar Trump seperti dilansir
TIME Magazine, 9 Juli 2025.
Trump mengatakan dirinya kini "serius" mempertimbangkan Rancangan Undang-Undang Sanksi
Rusia 2025 yang tengah dibahas di Senat AS. RUU tersebut berfokus pada sanksi ekspor minyak Rusia, termasuk terhadap negara-negara yang mendukung perang di Ukraina.
Frustrasi Trump semakin dalam setelah
Rusia justru meningkatkan intensitas serangan ke Ukraina, padahal ia mengaku telah mengirim pesan langsung kepada Putin agar segera menghentikan serangan terhadap warga sipil dan mau duduk di meja perundingan.
“Putin tidak memperlakukan manusia dengan benar, dia membunuh terlalu banyak orang. Karena itu, kami mengirim beberapa senjata defensif ke Ukraina, dan saya telah menyetujuinya,” lanjutnya.
Trump juga membatalkan keputusan Pentagon yang sebelumnya menunda pengiriman misil pertahanan udara dan artileri berpemandu ke Ukraina. Ia mengakui, janji kampanyenya untuk mengakhiri perang
Ukraina dalam 24 jam ternyata tidak mudah diwujudkan.
“Ini ternyata jauh lebih sulit,” tambahnya.
“Saya tidak senang dengan Putin. Dia membunuh banyak orang, termasuk tentaranya sendiri," ucap Trump.
Sikap Trump terhadap
Ukraina sendiri selama masa kepresidenannya terbilang tidak konsisten. Ia sempat mengancam akan menghentikan bantuan ke Kyiv dan pernah beradu argumen keras dengan Presiden Volodymyr Zelensky di Gedung Putih pada Februari.
Namun hubungan keduanya membaik setelah bertemu kembali di Vatikan pada April. Meski begitu, Trump mengakui tekanan dan harapan besar yang dihadapi untuk segera mengakhiri perang Rusia-Ukraina belum kunjung terwujud.
Menurut analisis Mark Montgomery, purnawirawan laksamana angkatan laut AS, Trump merasa “terpukul dua kali”, di satu sisi merasa dipermainkan oleh Putin, di sisi lain justru dihambat oleh Departemen Pertahanannya sendiri.
Ketidakmampuan Trump mengubah sikap Putin serta serangan
Rusia ke wilayah sipil membuat frustrasinya semakin dalam. Ambisi Trump sebagai "
deal maker" dan keinginan meraih Nobel Perdamaian kembali diuji oleh kenyataan konflik yang rumit dan sulit diselesaikan.
Saat ditanya wartawan apakah akan ada langkah lebih lanjut untuk menghukum Rusia, Trump tidak menjawab secara eksplisit. Namun, ia menegaskan sedang mengkaji opsi sanksi lebih berat, termasuk blokade ekspor minyak ke negara mitra utama Rusia.
Sementara itu, RUU Sanksi Rusia 2025 juga mengatur sanksi terhadap negara-negara yang membeli minyak dari
Rusia, terutama Tiongkok. RUU tersebut telah didukung oleh puluhan anggota Senat dari Partai Republik, Demokrat, serta satu senator independen.