Editorial Media Indonesia: Meneguhkan Integritas BUMN

BUMN/Ilustrasi MI

Editorial Media Indonesia: Meneguhkan Integritas BUMN

Media Indonesia • 7 October 2025 05:48

PENGESAHAN Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) yang baru oleh DPR menjadi angin segar dalam upaya memperbaiki tata kelola dan memperkuat komitmen pemberantasan korupsi, khususnya di perusahaan-perusahaan milik negara tersebut.

Salah satu elemen penting dari undang-undang itu ialah penghapusan frasa yang menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan lagi merupakan penyelenggara negara. Meski terlihat sebagai perubahan semantik, dampaknya terhadap BUMN sangat substansial.

Dengan status sebagai penyelenggara negara, seluruh pejabat BUMN, baik di level strategis maupun operasional, berada dalam ruang lingkup pengawasan ketat lembaga-lembaga antikorupsi, khususnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Langkah itu sangat penting mengingat realitas permainan di BUMN masih mengkhawatirkan. Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa sepanjang 2016 hingga 2023, sedikitnya 212 kasus korupsi yang melibatkan 349 pejabat BUMN terungkap.
 


Angka tersebut mencerminkan kerentanan struktural BUMN terhadap penyimpangan kekuasaan dan penyalahgunaan wewenang. Belum lagi rangkaian pernyataan Presiden Prabowo Subianto tentang kegelisahannya terkait dengan pejabat BUMN.

Menurut Presiden, selama ini pejabat BUMN berada dalam zona nyaman menikmati gaji dan fasilitas besar, tapi kontribusi mereka terhadap perusahaan dan kepentingan nasional minim. Kritik itu bukan tuduhan sembarangan, melainkan cermin dari kondisi yang terlalu lama dibiarkan. Jabatan di BUMN diperlakukan sebagai tempat 'basah' yang nyaman, bukan posisi amanah yang dituntut akuntabilitas tinggi.

Kenyamanan itu diperparah dengan masih maraknya praktik penempatan politikus aktif atau mantan politikus sebagai komisaris BUMN. Dalam catatan Transparency International Indonesia (TI Indonesia) hingga 30 September 2025, sedikitnya 165 politikus tercatat menjabat komisaris di berbagai BUMN. Itu merupakan persoalan serius.

Ketika posisi komisaris menjadi jatah politik, BUMN berisiko tinggi menjadi sapi perah elite kekuasaan, rentan dipakai untuk kepentingan pribadi, partai, atau kelompok, bukan untuk mendorong kemajuan perusahaan atau kepentingan ekonomi nasional.

Belum lagi ada 33 wakil menteri yang rangkap jabatan dengan komisaris BUMN. Situasi seperti itu amat terbuka bagi terciptanya moral hazard. Komisaris yang ditunjuk bukan karena kompetensi, melainkan karena kedekatan politik, cenderung tidak memiliki keberanian maupun kapasitas untuk mengawasi direksi secara objektif.

Padahal, fungsi komisaris ialah sebagai pengawas utama manajemen BUMN. Jika pengawasnya tidak independen, lubang besar dalam tata kelola sudah tercipta sejak awal.

BUMN/Ilustrasi MI

Dalam konteks itulah, kehadiran UU BUMN yang baru menjadi sangat penting. Dengan menjadikan pejabat BUMN sebagai penyelenggara negara, KPK bisa bergerak lebih leluasa untuk masuk ke sistem, baik melalui penindakan maupun pencegahan, seperti diawali dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN).

Namun, sebagaimana reformasi lainnya, implementasi ialah tantangan utama. Perubahan regulasi tidak akan berarti jika tidak dibarengi dengan kemauan politik yang konsisten. BUMN harus dikembalikan pada fungsi utamanya, yakni melayani rakyat dan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat, bukan melayani dan membuat kekuasaan sejahtera.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(M Sholahadhin Azhar)