KPK Diminta Tegas dan Transparan Usut Dugaan Korupsi Proyek Whoosh

Ilustrasi kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Foto dok MI.jpeg

KPK Diminta Tegas dan Transparan Usut Dugaan Korupsi Proyek Whoosh

Devi Harahap • 30 October 2025 16:09

Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta bersikap tegas dan transparan dalam mengusut dugaan korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh. Proyek yang diinisiasi pada era pemerintahan Presiden Joko Widodo itu diduga mengalami penggelembungan anggaran (mark up) dan pembengkakan biaya pembangunan yang signifikan.

Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, menegaskan KPK tidak boleh ragu dalam menentukan apakah proyek Whoosh mengandung unsur tindak pidana korupsi atau tidak. Menurut dia, langkah itu penting untuk menegakkan akuntabilitas penggunaan uang negara.

“KPK mesti berani mengambil sikap terkait apakah proyek Whoosh ini masuk kategori tindak pidana korupsi atau tidak, apalagi setelah munculnya pembengkakan biaya pembangunan,” ujar Zaenur, Jakarta, Kamis, 30 Oktober 2025.

Dia menilai salah satu hal yang perlu disoroti adalah potensi kesalahan dalam proses perencanaan proyek yang tidak presisi. KPK juga perlu memeriksa pihak-pihak yang mengambil keputusan strategis dalam proyek tersebut.

“Itu nanti kesimpulan harus diambil oleh KPK. Tetapi setidaknya yang pertama adalah si kelompok pengambil kebijakan. Bagaimana kebijakan ini diambil, apakah sesuai asas umum pemerintahan yang baik atau justru mengandung penyalahgunaan keuangan dan perbuatan melawan hukum,” jelas Zaenur.
 

Baca Juga: 

KPK: Proses Penyelidikan tak Ganggu Perjalanan Whoosh



Gedung Merah Putih KPK. Medcom.id/Candra Yuri Nuralam

Zaenur mengakui penetapan tersangka terhadap pembuat kebijakan merupakan persoalan yang sensitif. Namun, dia menegaskan kebijakan publik tetap dapat dipidana jika terbukti disertai niat jahat atau penyalahgunaan kekuasaan.

“Sebuah kebijakan tidak bisa langsung dikriminalisasi selama diputuskan sesuai ketentuan dan asas yang berlaku. Tapi kalau kebijakan itu mengandung niat jahat (malicious intention), ada indikasi penipuan, konflik kepentingan, atau etika buruk, maka pengambil kebijakan bisa dimintai pertanggungjawaban pidana,” ujar Zaenur.

Zaenur menjelaskan manfaat tidak berwujud (intangible benefit) yang diterima pengambil kebijakan dapat dikategorikan sebagai keuntungan dalam konteks korupsi, sebagaimana diatur dalam Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC).

“Apalagi kalau ada kickback atau keuntungan-keuntungan lain. Bahkan menurut UNCAC, intangible benefit itu juga termasuk sebagai keuntungan. Maka pengambil kebijakan bisa dimintakan pertanggungjawaban pidana,” tegas Zaenur.

Dia menambahkan pengambil kebijakan tertinggi dalam proyek ini berada di level Presiden, disusul Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, dan pejabat terkait lainnya.

“Siapa pengambil kebijakannya? Ya tertinggi ada di Presiden, di bawahnya ada Menteri BUMN, Menteri Perhubungan, dan seterusnya,” kata Zaenur.

Menurut Zaenur, penegakan hukum terhadap dugaan korupsi proyek strategis, seperti Whoosh, tidak hanya penting untuk kepastian hukum. Tetapi, untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan proyek infrastruktur nasional.

“Ini menjadi ujian bagi KPK apakah masih mampu menjaga integritasnya dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu,” ujar Zaenur.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Achmad Zulfikar Fazli)