Ilustrasi. Foto: dok MI/Rommy Pujianto.
Husen Miftahudin • 17 July 2023 16:29
Jakarta: Nilai tukar rupiah pada penutupan perdagangan hari ini mengalami pelemahan. Mata uang Garuda tersebut pun berada di ujung level Rp14 ribuan per USD.
Mengutip data Bloomberg, Senin, 17 Juli 2023, nilai tukar rupiah terhadap USD ditutup di level Rp14.997 per USD. Mata uang Garuda tersebut turun 39 poin atau setara 0,26 persen dari posisi Rp15.153 per USD pada penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi mengatakan pelemahan rupiah hari ini berbanding terbalik dengan data neraca perdagangan Indonesia yang justru mencatatkan surplus sebanyak USD3,45 miliar pada Juni 2023.
"Neraca perdagangan di Juni 2023 terjadi surplus, sesuai dengan ekspektasi para analis walaupun surplusnya tidak terlalu besar hanya senilai USD1,33 miliar (perkiraan surplus neraca dagang). Meskipun, angka (surplus) ini tetap di bawah tren dua tahun terakhir," ujar Ibrahim dalam analisis hariannya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, pertumbuhan surplus neraca perdagangan Juni 2023 mencapai 708,66 persen dibandingkan Mei 2023, tapi turun 32,75 persen dibandingkan Juni 2022. Dengan angka ini, neraca perdagangan Indonesia telah mencatatkan surplus selama 38 bulan berturut-turut sejak Mei 2020.
Surplus di Juni meningkat tajam dibandingkan bulan sebelumnya, tetapi turun dibandingkan bulan yang sama pada tahun lalu. Surplus neraca perdagangan pada Juni 2023 lebih disebabkan penurunan impor yang lebih dalam dibandingkan penurunan ekspor.
Penyebabnya adalah penurunan harga tahunan batubara dan minyak kelapa sawit (crude palm oil), yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia, juga terus terjadi pada Juni 2023.
Kemudian penurunan aktivitas manufaktur Tiongkok yang terlihat dari nilai ekspor Tiongkok dalam dolar AS yang mengalami penurunan signifikan sebesar 12,4 persen secara tahunan dan impor yang menurun 6,8 persen secara tahunan.
Faktor eksternal
Di sisi lain, Federal Reserve secara luas diperkirakan akan menaikkan suku bunga selama pertemuan akhir Juli. Tetapi pasar sekarang mengantisipasi jeda yang diperpanjang dalam siklus kenaikan suku bunga Fed, mengingat pembacaan inflasi yang lemah dari minggu lalu.
"Namun, dengan inflasi inti AS tetap tinggi, pasar tetap tidak yakin apakah bank sentral akan memberi sinyal jeda. Pejabat Fed juga menawarkan isyarat beragam tentang kenaikan suku bunga di masa depan," paparnya.
Di Asia, Secara tahunan, PDB Tiongkok tumbuh 6,3 persen pada kuartal kedua. Sebagian besar berkat basis yang lebih rendah untuk perbandingan dari periode yang terkena dampak covid tahun lalu, dan ini lebih rendah dari ekspektasi pertumbuhan sebesar 7,3 persen.
Pembacaan menunjukkan Tiongkok sedang berjuang untuk mempertahankan momentum ekonomi yang kuat yang terlihat pada kuartal pertama, dan pemerintah kemungkinan akan meluncurkan lebih banyak langkah stimulus untuk mendukung pertumbuhan dalam beberapa bulan mendatang.
Tetapi People's Bank of China mempertahankan suku bunga pinjaman jangka menengah stabil, kemungkinan menandai langkah serupa untuk suku bunga acuan pinjaman (LPR) akhir pekan ini. Bank telah memangkas LPR pada Juni untuk merangsang pertumbuhan.
Di Eropa, Bank Sentral Eropa secara luas diperkirakan akan menaikkan suku bunga sekali lagi minggu depan, dengan tingkat inflasi di Jerman, ekonomi terbesar di euro, naik pada Juni menjadi 6,8 persen pada tahun ini, ketika diselaraskan untuk dibandingkan dengan negara-negara Uni Eropa lainnya.
"Ini lebih dari tiga kali target jangka menengah ECB dan menyarankan kenaikan suku bunga lebih lanjut mungkin diperlukan seiring berjalannya tahun," terang Ibrahim.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, Ibrahim memprediksi rupiah pada perdagangan besok depan akan bergerak secara fluktuatif meskipun kemungkinan besar akan kembali mengalami pelemahan.
"Untuk perdagangan besok, mata uang rupiah kemungkinan dibuka berfluktuatif namun ditutup melemah direntang Rp14.930 per USD hingga Rp15.070 per USD," tutup Ibrahim.