Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. (Ebet)
Media Indonesia • 1 September 2025 07:10
BANGSA ini mengalami krisis keteladanan akibat defisit etika. Mencari sosok yang bisa dijadikan rujukan nilai dalam bertutur dan bertindak seperti menemukan jarum di tumpukan jerami.
Hari-hari ini kita membutuhkan sosok yang menjadi rujukan. Pemimpin yang perkataannya dituruti, imbauannya dipatuhi. Ketiadaan sosok anutan itulah yang menyebabkan masyarakat cenderung bertindak sendiri sampai menerabas batas kepatutan.
Kurangnya keteladanan dalam sikap dan perilaku sebagian pemimpin dan tokoh bangsa menjadi salah satu pemantik krisis multidimensi yang pernah dan terus dialami bangsa ini.
Penyebab lainnya ialah terjadinya ketidakadilan ekonomi dalam lingkup luas dan dalam kurun waktu yang panjang, melewati ambang batas kesabaran masyarakat secara sosial yang berasal dari kebijakan publik dan munculnya perilaku ekonomi yang bertentangan dengan moralitas dan etika.
Analisis komprehensif atas penyebab krisis multidimensi itu menjadi latar belakang penerbitan etika kehidupan berbangsa dalam Tap VI/MPR/2021. Cakupannya ialah etika sosial dan budaya, etika politik dan pemerintahan, etika ekonomi dan bisnis, etika penegakan hukum yang berkeadilan, etika keilmuan, dan etika lingkungan.
Ketetapan MPR terkait dengan etika kehidupan berbangsa indah sebatas teks tanpa konsistensi penerapannya.
Pemimpin rabun konsistensi. Etika sosial dan budaya mengamanatkan perlu ditumbuhkembangkan kembali budaya keteladanan yang harus diwujudkan dalam perilaku para pemimpin baik formal maupun informal pada setiap lapisan masyarakat.
Budaya keteladanan tidak ditemukan di sekitar kita karena lebih banyak dijumpai sosok bunglon. Prinsip, tutur, dan laku mereka bisa ibarat cuaca yang berubah-ubah sesuai dengan selera. Itu namanya sosok bunglon tanpa teladan.
Perintah etika pemerintahan sangat tegas. Penyelenggara negara mesti memiliki rasa kepedulian tinggi dalam memberikan pelayanan kepada publik, siap mundur apabila merasa dirinya telah melanggar kaidah dan sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa, dan negara.
Sedikit sekali pejabat yang siap mundur, sudah duduk lupa berdiri. Ada pejabat yang namanya disebutkan terima suap di sidang pengadilan, tetapi tetap kukuh memegang jabatannya.
Wibawa lembaga dipertaruhkan. Lembaga-lembaga negara, eksekutif, yudikatif, dan legislatif tidak lagi menjadi pusat tata nilai dan keutamaan. Keputusan-keputusan yang diambil tidak lagi berpihak kepada kepentingan publik. Ada jurang menganga antara keputusan dan rasa keadilan masyarakat.
Publik resah menyaksikan pameran tak patut dari wakil rakyat. Mereka joget-joget pada saat acara resmi sampai mengarang-ngarang mata anggaran. Publik terperangah setelah mengetahui wakil rakyat mendapatkan Rp50 juta per bulan sebagai tunjangan perumahan. Tunjangan mereka meroket pada saat pendapatan rakyat terimpit. Ketika rakyat protes, mereka reaktif sampai mengeluarkan kata-kata tanpa diayak.
Di jajaran eksekutif, dari pusat sampai daerah, tidak sedikit yang berurusan dengan hukum karena terlibat korupsi. Tutur dan laku pejabat tidak lagi selaras, bahkan ada bupati yang menantang warganya melakukan demonstrasi lebih besar lagi.
Setali tiga uang dengan jajaran yudikatif. Telah terjadi dekadensi moral. Hakim dan jaksa memutarbalikkan fakta di persidangan, menjungkirbalikkan kebenaran. Orang benar disalahkan, orang salah dibenarkan. Para penegak hukum sudah kehilangan rasa malu untuk menjual kebenaran demi uang.
Kita tidak boleh kehilangan harapan. Syaratnya ialah para penyelenggara negara mewujudkan etika kehidupan berbangsa dalam bentuk sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif dan berbagai tindakan yang tidak terpuji lainnya.
Baca Juga:
AHY Minta Legislator Demokrat Selalu Menjaga Lisan |