CEO Indodax Oscar Darmawan. Foto: dok Indodax.
Husen Miftahudin • 21 February 2025 22:15
Jakarta: Pelaku industri kripto menilai sistem pajak final terhadap transaksi aset kripto di exchange berizin dinilai kurang ideal karena tetap dikenakan meski trader mengalami kerugian. Berbeda dengan skema capital gains tax yang hanya dikenakan saat ada keuntungan.
Selain itu, CEO Indodax Oscar Darmawan menjelaskan, trader yang menggunakan exchange luar negeri menghadapi tantangan dalam pelaporan pajak. Karena hingga saat ini, belum ada sistem yang jelas untuk menagih pajak dari transaksi yang dilakukan di platform asing.
"Pajak memengaruhi biaya transaksi di exchange lokal. Sebagian besar biaya transaksi di Indodax digunakan untuk membayar pajak," ungkap Oscar dikutip dari keterangan tertulis, Jumat, 21 Februari 2025.
Oscar berharap, revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Atas Transaksi Perdagangan Aset Kripto dapat menghapus PPN, agar biaya transaksi semakin kompetitif dan mendorong adopsi kripto di Indonesia.
Implementasi aturan transaksi di exchange luar negeri
Terkait transaksi di
exchange luar negeri atau yang belum memiliki izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sebut Oscar, PMK 68 mengatur pajak PPh final yang dikenakan adalah 0,2 persen atau dua kali lipat dari yang berlaku di exchange berizin. Namun, ada ketidakpastian dalam implementasi aturan ini.
"Seharusnya,
exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan
trader-nya. Tapi karena belum ada mekanisme pemungutan oleh
exchange luar, akhirnya
trader yang harus melaporkan sendiri. Bahkan, di beberapa wilayah, pajak yang dikenakan masih menggunakan skema PPh progresif," jelas Oscar. Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi di berbagai kantor pajak.
Ia pun menyarankan agar para
trader yang melakukan transaksi di
exchange luar negeri berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di kantor pajak tempat mereka terdaftar. "Setiap wajib pajak memiliki AR di kantor pajak masing-masing, yang bisa diajak berdiskusi mengenai bagaimana cara pembayaran pajak kripto yang sesuai dengan regulasi," tambahnya.
Oscar menilai skema pajak final ini sudah cukup baik, tetapi ada ruang untuk perbaikan, terutama terkait PPN. Menurutnya, karena
aset kripto kini berada di bawah regulasi OJK sebagai aset keuangan, seharusnya kripto tidak lagi dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya.
Jika PPN dihapuskan, sebut dia, maka biaya transaksi akan menjadi lebih kompetitif, sehingga mendorong lebih banyak investor untuk bertransaksi di dalam negeri daripada menggunakan platform luar negeri dan ujungnya pendapatan negara dari PPh akan mengalami peningkatan lebih besar.
Dengan semakin berkembangnya industri kripto di Indonesia, kebijakan pajak yang lebih fleksibel diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekosistem tanpa membebani investor dan
trader.
"Seharusnya, sebagai aset keuangan, kripto tidak lagi dikenakan PPN," jelas Oscar. Namun, karena PMK 68 masih berlaku, PPN tetap dikenakan hingga regulasi direvisi.
(Ilustrasi pergerakan harga aset kripto. Foto: dok KBI)
Pajak kripto di Indonesia
Pajak kripto di Indonesia kembali menjadi perbincangan setelah muncul diskusi mengenai penerapan pajak terhadap airdrop serta transaksi di luar negeri. Oscar menegaskan, meski regulasi pajak kripto sudah berjalan sejak 2022, masih ada tantangan dalam implementasinya, terutama terkait pajak transaksi luar negeri dan adanya PPN.
Adapun kripto pertama kali dikenakan pajak pada 2017 setelah dinyatakan sebagai komoditas yang sah diperdagangkan berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan. Pada periode 2017-2022, pajak yang dikenakan bersifat self-reporting, di mana pendapatan dari kripto dilaporkan
dalam SPT dan dikenakan PPh progresif.
Sejak 2022, Pemerintah Indonesia menerapkan pajak final terhadap transaksi aset kripto di
exchange berizin, yaitu PPh Final sebesar 0,1 persen dan PPN sebesar 0,11 persen. Skema ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif pajak kripto paling rendah di dunia.
Oscar mengakui, kebijakan ini lebih kompetitif dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan pajak progresif berdasarkan keuntungan. Di Amerika Serikat (AS), misalnya, pajak atas keuntungan dari aset kripto bisa mencapai 40 persen, terutama bagi investor dengan penghasilan tinggi.
Sementara itu, di Eropa, tarif pajak atas keuntungan dari kripto dapat mencapai 50 persen. Sebaliknya, di Dubai dan beberapa negara Timur Tengah, tidak ada PPh sehingga transaksi kripto sepenuhnya bebas pajak.
Menurut Oscar, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem pajak final untuk kripto, serupa dengan mekanisme perpajakan di pasar saham. Di negara lain, pajak kripto umumnya mengikuti skema PPh progresif, di mana semakin besar keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi pajak yang dikenakan dengan besaran tarif mengikuti pendapatan tahunan orang itu.
Dengan adanya pajak final, tarif pajak kripto di Indonesia justru lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang mengenakan pajak berbasis keuntungan.