Penasihat Senior Kementerian Luar Negeri Michael Tene dalam perayaan 75 Tahun Konvensi Jenewa di Jakarta. (Marcheilla Ariesta/Metrotvnews.com)
Marcheilla Ariesta • 12 August 2024 23:05
Jakarta: Konvensi Jenewa 1949 yang menjadi landasan hukum humaniter internasional saat ini., sudah berusia 75 tahun pada 12 Agustus. Namun, menandai 75 tahun Konvensi Jenewa disahkan, hampir 40 ribu orang tewas di Gaza, Palestina, dan ribuan lainnya di berbagai wilayah di belahan dunia akibat konflik.
Yang menjadi pertanyaan saat ini adalah, apakah hukum humaniter internasional masih relevan untuk situasi dunia saat ini?
Penasihat Senior Kementerian Luar Negeri RI Michael Tene mengatakan, Konvensi Jenewa 1949 merupakan salah satu pencapaian utama multilateralisme dan kerja sama internasional.
“Lewat hukum ini, memperlihatkan fakta bahwa konvensi ini, setelah 75 tahun tetap relevan bagi masyarakat internasional,” kata Tene, dalam Perayaan 75 Tahun Konvensi Jenewa di Jakarta, Senin,12 Agustus 2024.
“Namun, apa yang terjadi saat ini menjadi pengingat, bahwa negara dan aktor non-negara terus menggunakan kekuatan dalam menyelesaikan perselisihan mereka,” lanjut Tene.
Dengan peperangan yang terus berkembang dalam kehidupan dengan kemajuan teknologi dan perkembangan modern, kata Tene, malah menimbulkan tantangan berkelanjutan bagi penerapan konvensi.
Ia menggarisbawahi, perlunya untuk terus memperkuat dan memperkuat komitmen kolektif untuk menghormati hukum humaniter internasional. “Ini termasuk memastikan bahwa prinsip-prinsip inti kemanusiaan, imparsialitas, dan independensi ditegakkan dalam semua situasi,” tegas Tene.
Dengan demikian, katanya, Konvensi Jenewa tetap relevan dan dihormati. Menurutnya, sangat bagi masyarakat internasional semua negara, menerapkan konvensi ini secara adil.
Menurutnya, masyarakat internasional harus memastikan bahwa semua pelanggaran, terlepas dari kehancuran yang harus dipertanggungjawabkan.
Ia menegaskan, Konvensi Jenewa bukan hanya teks hukum, tetapi juga berfungsi sebagai kompas moral, yang memandu tindakan dunia untuk melindungi warga sipil dan yang paling rentan dalam konflik bersenjata apa pun.
Ia mencontohkan Gaza, di mana warga sipil terus menderita.
“Semua pihak harus menghormati hukum humaniter internasional, tanpa kecuali,” tegas Tene.
Mantan juru bicara Kemenlu RI itu juga menekankan perlunya memperkuat perlindungan warga sipil berdasarkan hukum humaniter internasional dalam konflik. Saat ini, ujar Tene, jelas bahwa warga sipil sering kali menanggung beban kekerasan.
“Oleh karena itu, sangat mendesak bagi kita untuk mengembangkan strategi dan alat yang lebih baik untuk melindungi warga sipil dan fasilitas publik dengan lebih baik dalam situasi konflik, serta pentingnya bantuan kemanusiaan,” terangnya.
Tene menegaskan, bantuan kemanusiaan adalah jalur kehidupan bagi mereka yang berada di zona perang. Menurutnya, pengirimannya harus dijaga, difasilitasi, dan dipastikan oleh semua pihak yang terlibat dalam hal ini.
Ia kemudian menyoroti konferensi regional tentang bantuan kemanusiaan yang akan diselenggarakan oleh Indonesia pada akhir tahun ini. Konferensi itu, kata Tene, akan menjadi penyelenggaraan ketiga konferensi regional yang telah menyediakan wadah bagi para pemangku kepentingan di kawasan ini untuk memperkuat kerja sama dan berbagi praktik terbaik dalam bantuan kemanusiaan.
Tene juga mengatakan, dunia internasional harus mengakui dan merayakan peran penting perempuan dalam penerapan Hukum Humaniter Internasional (IHL).
“Indonesia telah menjadi garda terdepan dalam upaya ini. Perempuan berperan sebagai pahlawan dalam operasi pemeliharaan perdamaian dan mediasi. Para mediator perdamaian dan pemimpin perdamaian telah menunjukkan bahwa inklusivitas gender meningkatkan efektivitas upaya pembangunan perdamaian,” jelasnya.
Menurut Tene, kontribusi perempuan menjadi inspirasi dan juga menunjukkan bahwa partisipasi penuh perempuan yang setara dan bermakna sangat diperlukan dalam mewujudkan perdamaian abadi.
Apa Itu Konvensi Jenewa?
Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya merupakan inti dari hukum humaniter internasional dan berupaya mencapai keseimbangan antara kebutuhan militer dan prinsip kemanusiaan.
Konvensi Pertama melindungi prajurit yang terluka dan sakit serta personel pendukung sipil dan menjamin perlakuan manusiawi, perawatan medis, dan perlindungan dari kekerasan, termasuk penyiksaan dan pembunuhan. Konvensi tersebut juga menetapkan kenetralan personel dan fasilitas medis, serta Palang Merah dan Bulan Sabit Merah sebagai tanda perlindungan yang terlihat.
Konvensi Kedua melindungi anggota angkatan bersenjata yang terluka, sakit, dan terdampar di laut. Konvensi Ketiga menetapkan aturan khusus untuk perlakuan terhadap tawanan perang, dan Konvensi Keempat melindungi warga sipil di masa perang, khususnya mereka yang berada di tangan musuh atau wilayah pendudukan.
Konvensi 1949 sejak saat itu telah diratifikasi oleh setiap negara di dunia, menjadikan hukum humaniter internasional sebagai badan hukum universal. Pelanggaran tertentu terhadap perjanjian dapat diselidiki dan dituntut oleh negara mana pun atau, dalam keadaan tertentu, oleh pengadilan internasional.
Baca juga: Aljazair Minta Sidang Darurat DK PBB Terkait Serangan Israel di Sekolah Gaza