Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Terganjal Penerapan Tarif PPN 12%

Ilustrasi. Foto: dok Kemenkeu.

Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Terganjal Penerapan Tarif PPN 12%

M Ilham Ramadhan Avisena • 12 September 2024 14:10

Jakarta: Pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 dinilai akan memicu pelemahan ekonomi, atau kontraksi. Sebabnya, kenaikan pungutan itu akan melemahkan daya beli dan berpeluang menghambat tingkat konsumsi rumah tangga.
 
"Kenaikan tarif PPN itu akan membuat kontraksi perekonomian," ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti dalam diskusi daring bertajuk Moneter dan Fiskal Ketat, Daya Beli Melarat, Kamis, 12 September 2024.
 
Argumen itu berlandaskan pada hitungan Indef tiga tahun lalu mengenai wacana penaikan tarif PPN menjadi 12,5 persen. Hasilnya didapati pendapatan riil masyarakat akan menurun, konsumsi rumah tangga tersendat, dan bermuara pada pelambatan pertumbuhan ekonomi.
 
Lantaran sifatnya yang melekat pada objek barang dan jasa, kenaikan tarif PPN tak semata menambah beban masyarakat di golongan tertentu. Itu artinya, masyarakat yang tergolong miskin juga akan memikul beban kenaikan harga yang sama dengan masyarakat kaya.
 
Kebijakan fiskal yang demikian, kata Esther, perlu ditinjau dan dikaji lebih lanjut oleh pemerintah. Utamanya kemampuan konsumsi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah sedang berada dalam tekanan.
 
"Jika skenario kenaikan tarif PPN tetap dilaksanakan, maka pendapatan masyarakat akan turun, pendapatan riil turun, dan konsumsi masyarakat jelas turun. Dan ini tidak hanya terjadi pada masyarakat perkotaan, tapi juga pedesaan," jelas dia.
 
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 sedianya tertuang dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi dan Peraturan Perpajakan (HPP) Pasal 7 (1): Tarif PPN sebesar 12 persen berlaku paling lambat pada 1 Januari 2025.
 
Namun sejatinya pemerintah memiliki ruang untuk melakukan penundaan penaikan tarif itu. Kewenangan itu diberikan melalui UU PPN pasal 7 ayat (3). Beleid itu menyebutkan pemerintah dapat mengubah tarif PPN menjadi paling rendah lima persen dan paling tinggi 15 persen melalui Peraturan Pemerintah.
 

Baca juga: Pemerintah Andalkan Stimulus Pajak Demi Dukung Daya Beli
 

Diperparah pembatasan pertalite

 
Selain beban yang timbul dari tarif PPN, kemampuan konsumsi masyarakat juga berpeluang oleng ketika pembatasan Pertalite berlaku. Sebab BBM merupakan faktor utama dan penting dalam aktivitas dan mobilitas masyarakat.
 
Pembatasan akses bensin bersubsidi berpotensi memperlambat aktivitas dan mobilitas masyarakat. Pada akhirnya, kegiatan ekonomi juga berpeluang tersendat.
 
"Opsi pembatasan Pertalite ini tidak tepat saat ini. karena kondisi daya beli masyarakat sekarang relatif menurun. Jadi alangkah baiknya kebijakan ini dipertimbangkan lagi," terang Esther.
 
Tak hanya kebijakan fiskal yang menghambat gairah konsumsi masyarakat. Esther menilai kebijakan di ranah moneter turut berperan pada pelambatan daya beli saat ini. Sebab, apa yang diputuskan oleh Bank Indonesia cukup memengaruhi beban fiskal negara.
 
Misal, ketika BI menaikan BI Rate, maka imbal hasil atas Surat Berharga Negara (SBN) akan terkerek naik. Otomatis, otoritas fiskal mesti menyediakan dana untuk membayarkan imbal hasil yang tinggi kepada investor.
 
"Artinya kebijakan moneter yang dikeluarkan BI juga berdampak pada beban fiskal. Jadi sudah tadi kebijakan fiskal mendorong kontraksi, ditambah kebijakan moneter yang membebani fiskal," jelas Esther.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Husen Miftahudin)