Mbah Tupon (baju biru). (Metrotvnews.com/Ahmad Mustaqim)
Yogyakarta: Tahun 2025 mencatat satu potret kelam praktik mafia tanah di Indonesia. Seorang petani lansia di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, nyaris kehilangan tanah dan rumah yang telah ditempatinya puluhan tahun akibat rangkaian jual beli fiktif dan pemalsuan dokumen.
Kasus yang menimpa Tupon Hadi Suwarno atau Mbah Tupon akhirnya terbongkar. Namun, vonis pengadilan terhadap para pelaku justru memicu tanda tanya besar tentang keadilan bagi korban.
Awal Kasus: Kepercayaan Disalahgunakan
Kasus ini bermula pada medio 2020. Mbah Tupon memiliki tanah seluas 2.100 meter persegi dan berniat menjual sebagian lahannya seluas 298 meter persegi. Proses penjualan dilakukan melalui Bibit Rustamta, tetangga yang telah lama dikenalnya dan dipercaya untuk membantu pengurusan pecah sertifikat.
Mbah Tupon berniat membagi tanahnya untuk tiga anak. Namun karena tak bisa membaca dan menulis, membuatnya tidak memahami proses jual beli tanah dan administrasi pertanahan.
Beberapa tahun kemudian, Mbah Tupon dikejutkan kedatangan perwakilan bank yang hendak menyita tanah dan rumahnya. Ia mengaku tidak pernah merasa memiliki urusan dengan bank mana pun.
“Kepengin sertifikatnya kembali ke tangan saya,” ujar Mbah Tupon, April 2025.
Kasus Viral, Pemerintah Daerah Mulai Hadir
Kasus ini kemudian viral di media sosial dan menarik perhatian publik serta pemerintah. Sebanyak 11 pengacara memberikan pendampingan hukum secara probono, termasuk dari Pemerintah Kabupaten Bantul.
“Anggota tim hukum ada 11 orang, termasuk Pemkab Bantul,” kata Sukiratnasari, salah satu tim hukum, Kamis 1 Mei 2025.
BPN Bantul kemudian memblokir sertifikat tanah Mbah Tupon untuk mencegah penyalahgunaan lebih lanjut. Kasus ini juga dilaporkan ke Polda DIY.
Polisi memeriksa belasan saksi dan menetapkan tujuh orang sebagai tersangka, yakni Bibit Rustamta, Triono, Vitri Wartini, Triyono, Muhammad Achmadi, Indah Fatmawati, serta Anhar Rusli.
Enam tersangka kasus mafia tanah Mbah Tupon yang telah ditahan Polda DIY. (Metrotvnews.com/ Ahmad Mustaqim)
Penyidik mengungkap, masing-masing tersangka memiliki peran berbeda dalam skema jual beli fiktif, pemalsuan akta, hingga pengajuan kredit bank menggunakan sertifikat hasil manipulasi.
Muhammad Achmadi disebut sebagai otak skenario. Ia menggunakan sertifikat hasil manipulasi untuk mengajukan kredit bank hingga Rp2,5 miliar. Sementara Anhar Rusli selaku PPAT diduga membuat akta jual beli fiktif tanpa kehadiran dan kesepakatan para pihak.
“Perbuatan para terdakwa menyebabkan kerugian sekitar Rp1,5 miliar terhadap korban,” ujar Direskrimum Polda DIY Kombes Idham Mahdi.
Tanah sengketa Mbah Tupon seluas sekitar 2.103 meter persegi. Sejatinya, ia hanya menjual 298 meter persegi dengan harga Rp1 juta per meter. Ia juga mewakafkan sebagian tanah untuk gudang RT dan jalan umum.
Namun sertifikat induk SHM Nomor 4993 dipecah menjadi beberapa sertifikat, lalu berpindah tangan secara melawan hukum.
Vonis Pengadilan Lebih Rendah dari Tuntutan
Menjelang akhir 2025, Pengadilan Negeri Bantul menjatuhkan vonis kepada tujuh terdakwa. Mayoritas dinyatakan bersalah melanggar Pasal 372 KUHP tentang penggelapan dan penipuan.
Vonis tertinggi dijatuhkan kepada Muhammad Achmadi, yakni 2 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta. Sementara terdakwa lainnya divonis antara 10 bulan hingga 2 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan jaksa.