Rupiah tak Berdaya saat Dolar AS Melempem

Ilustrasi. Foto: Dok MI

Rupiah tak Berdaya saat Dolar AS Melempem

Eko Nordiansyah • 16 December 2025 09:25

Jakarta: Nilai tukar (kurs) rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pembukaan perdagangan hari ini mengalami pelemahan. Mata uang Garuda tak berdaya saat dolar AS juga mengalami tekanan imbas perkembangan domestiknya.

Mengutip data Bloomberg, Selasa, 16 Desember 2025, rupiah berada di level Rp16.679 per USD. Mata uang Garuda tersebut melemah 12 poin atau 0,07 persen dibandingkan Rp16.667 per USD pada penutupan perdagangan sebelumnya.

Sementara menukil data Yahoo Finance, rupiah pada waktu yang sama berada di level Rp16.664 per USD. Mata uang Garuda terpantau melemah dari pembukaan kemarin sebesar Rp16.647 per USD.

Investor mencermati arah kebijakan The Fed

Analis pasar uang Ibrahim Assuaibi memperkirakan rupiah akan bergerak fluktuatif namun ditutup melemah pada perdagangan Selasa, 16 Desember 2025. Ia menyebut, rupiah akan bergerak dalam rentang harga Rp16.660 - Rp16.690 per dolar AS.

Ibrahim menilai, pelemahan tersebut dipengaruhi oleh sikap dovish Bank Sentral AS (The Fed), setelah memangkas suku bunga pekan lalu dan juga mengisyaratkan akan mulai melakukan pembelian obligasi pemerintah jangka pendek mulai Desember dengan nilai sekitar 40 miliar dolar AS per bulan.

"Aktivitas pembelian aset The Fed menghadirkan prospek dovish untuk kebijakan moneter, terutama mengingat kondisi likuiditas lokal kemungkinan akan semakin melonggar dengan suntikan dana tunai," kata dia.
 

(Ilustrasi. Foto: Dok MI)

Di sisi lain, perhatian pelaku pasar pekan ini tertuju pada rilis data ketenagakerjaan non-pertanian AS serta data inflasi konsumen (CPI) periode November yang dijadwalkan masing-masing pada Selasa dan Kamis. Sementara data ketenagakerjaan mengalami penundaan akibat penutupan pemerintahan AS yang berlangsung pada Oktober dan November.

Ibrahim menambahkan pasar akan mencermati indikasi perlambatan pertumbuhan tenaga kerja serta penurunan laju inflasi, mengingat kedua faktor tersebut menjadi pertimbangan utama The Fed dalam menentukan arah suku bunga.

"Data tersebut juga akan menjadi data ekonomi resmi terbaru yang tersedia bagi pasar setelah penutupan pemerintahan mengganggu beberapa data penting untuk bulan Oktober," jelasnya. 

Fakto dalam negeri

Dari dalam negeri, Ibrahim menilai tahun 2026 berpotensi menjadi periode penuh ketidakpastian dan persaingan antarnegara besar diperkirakan semakin intens, perubahan aliansi global dapat terjadi, serta konflik regional berisiko meluas. Sejumlah lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, ECB, dan OECD pun memproyeksikan perlambatan pertumbuhan ekonomi global yang disertai fragmentasi dan transformasi struktural.

"Perlambatan ini disebabkan oleh perdagangan dunia yang melemah, rantai pasok yang direstrukturisasi demi keamanan bukan sekadar efisiensi, utang publik di banyak negara yang berada pada titik tertinggi, dan perkembangan teknologi yang lebih pesat ketimbang penerbitan regulasi baru," jelasnya. 

Di sisi lain, valuasi aset di sejumlah negara dinilai rentan setelah kenaikan tajam dalam beberapa tahun terakhir, sementara sektor perbankan masih menghadapi tekanan dari kredit bermasalah dan kerugian portofolio akibat suku bunga tinggi. Menurutnya, lingkungan suku bunga tinggi yang bertahan lebih lama juga berpotensi membebani dunia usaha menjelang 2026. 

Ibrahim menambahkan, ketidakpastian sosial dan politik turut meningkat, sehingga memperbesar risiko perlambatan ekonomi global, meningkatnya proteksionisme, ketidakstabilan energi, konflik berkepanjangan, hingga disrupsi teknologi yang sulit diantisipasi.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
(Eko Nordiansyah)