Ilustrasi kesulitan pangan. MI/Duta
Media Indonesia • 24 June 2024 06:25
ETHIOPIA pernah menjadi simbol kemiskinan dunia. Negeri ini kerap dilanda bencana kelaparan yang teramat parah pada 1983-1985 yang kemudian mengundang solidaritas global. Mereka berbondong-bondong menolong rakyat Ethiopia dari kesulitan pangan nan memprihatinkan.
Indonesia termasuk yang tergerak untuk membantu dengan mengirimkan 100 ribu ton gabah melalui badan pangan PBB, FAO, beserta uang sebesar USD25 ribu pada 1987. Semua itu dilandasi prinsip-prinsip kemanusiaan mengingat begitu banyak nyawa melayang akibat kelaparan.
Seiring berjalannya waktu, Ethiopia mulai melepaskan diri dari simbol kemiskinan dunia. Angkanya perlahan-lahan menurun. Pada 1999, ada 44,2 persen orang Ethiopia yang memiliki pendapatan hanya USD1,90 per hari. Pada 2010, angkanya turun menjadi 29,6 persen, dan pada 2015 menjadi 23,5 persen.
Belum terlalu menggembirakan, tetapi setidaknya sudah terlihat ada upaya perbaikan mengatasi kemiskinan. Menurut Bank Dunia, pertumbuhan pertanian menjadi pendorong terbesar dalam mengurangi kemiskinan di Ethiopia, negara tertua di Afrika yang berdiri sejak 980 SM.
Para pemimpin di negeri itu terus mendorong inisiatif untuk mendukung sektor pertanian. Tidak mengherankan bila kemudian 85 persen penduduk Ethiopia terlibat di sektor pertanian pada 2007. Dari tahun ke tahun sudah semakin jelas terlihat tanda-tanda perbaikan.
Ethiopia bahkan memiliki ranking lebih bagus untuk food sustainability index (FSI) jika dibandingkan dengan Indonesia. FSI menggambarkan pencapaian suatu negara dalam sistem pangan dan nutrisi berkelanjutan berdasarkan aspek pertanian, gizi, dan limbah pangan.
Roda nasib berputar, negara yang dulu dibantu kini melejit jauh meninggalkan Indonesia setidaknya dari sisi sistem pangan dan nutrisi berkelanjutan. Data menunjukkan Ethiopia menempati urutan ke-12 di dunia di bawah Amerika Serikat di urutan ke-11.
Baca Juga:
Kepala Bapanas Pastikan Pangan yang Beredar di Pasaran dalam Kondisi Aman |