Ilustrasi rokok SKT. Foto: dok MI/Panca Syurkani.
Husen Miftahudin • 4 January 2025 10:46
Jakarta: Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) memprediksi kebijakan pemerintah yang mengerek harga jual eceran (HJE) rerata 10,5 persen dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 9,9 persen menjadi 10,7 persen pada rokok yang berlaku awal Januari 2025 akan semakin menyuburkan peredaran rokok ilegal.
Merujuk hitungan GAPPRI, harga rokok pada 2025 pascakenaikan HJE rata-rata 10,5 persen dan PPN menjadi 10,7 persen, maka harga rokok per-golongan dapat naik sebesar 13,56 persen sampai 28,27 persen atau rata-rata naik 19 persen.
"Kenaikan persentase harga tertinggi akan dialami oleh sigaret kretek tangan (SKT) sebesar 28,27 persen. Ini berarti karpet merah telah digelar pemerintah untuk rokok ilegal," kata ketua umum GAPPRI Henry Najoan dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu, 4 Januari 2024.
Henry mengatakan, kenaikan HJE jelas membebani industri hasil tembakau (IHT), mengingat rata-rata kenaikannya berada di 10,5 persen. Bahkan, SKT mengalami kenaikan HJE hingga 14,07 persen, sehingga berpotensi membuat harga-harga rokok naik. Beban makin berat lantaran kenaikan PPN dari 9,9 persen menjadi 10,7 persen.
Di sisi lain, kenaikan upah mininum provinsi (UMP) belum tentu mendorong daya beli konsumen, justru bisa makin memberatkan produsen tembakau yang sudah ditimpa berbagai beban pengeluaran.
Henry menegaskan, kenaikan komponen-komponen seperti HJE, PPN, hingga upah jelas akan mengerek harga jual rokok. Jika harga rokok sudah di atas nilai keekonomian, maka tren rokok murah bahkan rokok ilegal akan berlanjut.
"Semakin banyak konsumen yang beralih ke rokok murah, apalagi sebagiannya adalah rokok ilegal, kemungkinan besar akan membuat produksi rokok nasional menyusut. Jika ini terjadi, kami kira yang justru untung adalah penjual rokok ilegal yang tidak terbebani oleh pungutan sebagaimana rokok legal," tukas dia.
Baca juga: Kenaikan Cukai Tak Efektif Jaga Keseimbangan Kebijakan IHT |