Presiden AS Donald Trump Bertemu Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky pada tahun 2024. (X/@ZelenskyyUa)
Riza Aslam Khaeron • 20 February 2025 16:15
Jakarta: Pernyataan terbaru mantan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump dalam satu minggu ini mengenai Ukraina dan pemimpin negara tersebut kembali menuai kontroversi. Trump menuding Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sebagai "diktator tanpa pemilu" dan mengklaim bahwa popularitas Zelensky hanya mencapai 4%.
Namun, sejumlah media, termasuk BBC Verify, telah membantah klaim tersebut dan menyebutnya sebagai bagian dari disinformasi yang kerap digunakan oleh Rusia untuk mendiskreditkan Ukraina.
Mengutip BBC Verify pada Rabu, 19 Februari 2025, "Trump juga mengklaim bahwa Zelensky adalah seorang 'diktator tanpa pemilu,' sebuah tuduhan yang telah berulang kali digunakan oleh Rusia untuk meragukan legitimasi kepemimpinan Ukraina."
Trump bahkan menyebut bahwa perang antara Ukraina dan Rusia adalah tanggung jawab Kyiv sendiri, meskipun fakta menunjukkan bahwa Rusia yang memulai invasi pada Februari 2022.
Pemilu Tidak Bisa Diadakan Karena Darurat Militer
Trump secara terbuka menyebut bahwa Volodymyr Zelensky telah bertindak sebagai "diktator tanpa pemilu" karena tidak mengadakan pemilihan presiden sejak 2019. Dalam pernyataannya di Truth Social, Trump menulis bahwa "Zelensky telah menunda pemilu dan mempertahankan kekuasaan dengan dalih perang. Ini adalah sesuatu yang tidak dapat diterima di negara yang mengaku demokrasi."
Namun, fakta menunjukkan bahwa pemilu presiden di Ukraina tidak dapat diselenggarakan karena keadaan darurat militer yang diberlakukan sejak invasi Rusia pada Februari 2022. Undang-undang di Ukraina menetapkan bahwa pemilihan umum tidak dapat digelar selama darurat militer masih berlaku.
Selain itu, Zelensky sendiri telah berulang kali menegaskan bahwa pemilu akan segera dilaksanakan begitu situasi perang memungkinkan.
Menurut BBC Verify pada Rabu, 19 Februari 2025, "Zelensky pertama kali terpilih pada tahun 2019 dalam pemilu yang dinilai 'kompetitif dan menjunjung tinggi kebebasan fundamental' oleh
pengamat independen OSCE.
Namun, sejak Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022, negara tersebut berada dalam keadaan darurat yang mengakibatkan penundaan pemilu hingga kondisi memungkinkan."
Kritik Trump ini sejalan dengan narasi yang sering digunakan oleh Rusia untuk mendiskreditkan pemerintahan Ukraina di kancah internasional. Sebagai tambahan, pada 28 Januari 2025, Presiden Rusia Vladimir Putin menyebut Zelensky sebagai "presiden ilegal" karena tidak menggelar pemilu, sebuah klaim yang bertujuan untuk meragukan legitimasi kepemimpinan Ukraina.
Mayoritas Rakyat Ukraina Masih Mendukung Zelensky
Trump juga mengklaim bahwa tingkat persetujuan rakyat Ukraina terhadap Zelensky hanya 4%. Dalam sebuah wawancara dengan wartawan di Mar-a-Lago, Trump berkata, "Saya benci mengatakannya, tapi dia turun ke 4% approval rating."
Klaim ini langsung mendapat tanggapan dari berbagai media internasional yang menegaskan bahwa Trump tidak memberikan sumber yang jelas atas angka tersebut.
Namun, BBC Verify membantah angka tersebut dengan menyebut bahwa survei terbaru dari
Kyiv International Institute of Sociology (KIIS) menunjukkan bahwa 57% warga Ukraina masih mempercayai Zelensky pada Februari 2025.
"Survei ini menemukan bahwa 57% warga Ukraina menyatakan masih mempercayai Zelensky, meskipun angka ini mengalami penurunan dari 77% pada akhir 2023 dan 90% pada Mei 2022." (BBC Verify, Rabu, 19 Februari 2025).
BBC Verify juga mencatat bahwa sumber yang dikutip oleh Trump dalam klaim 4%-nya berasal dari polling yang dilakukan oleh anggota parlemen Ukraina, Oleksandr Dubinsky, melalui Telegram. Namun, polling tersebut tidak diakui secara luas karena Dubinsky sendiri telah didakwa melakukan pengkhianatan dan diduga bekerja untuk kepentingan intelijen Rusia.
Mengutip BBC Verify pada Rabu, 19 Februari 2025, "Dubinsky telah dituduh bekerja atas perintah intelijen Rusia dan menggunakan platformnya untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan tentang pemerintahan Ukraina."
Selain itu, survei independen menunjukkan bahwa meskipun popularitas Zelensky menurun akibat perang yang berkepanjangan, ia tetap memiliki tingkat kepercayaan yang jauh lebih tinggi dibandingkan klaim Trump.
Sementara itu, beberapa survei juga menunjukkan bahwa mantan Panglima Angkatan Bersenjata Ukraina, Jenderal Valerii Zaluzhnyi, mulai mendapatkan dukungan sebagai calon kuat dalam pemilu mendatang jika diadakan setelah perang berakhir.
"Sejumlah jajak pendapat menunjukkan bahwa dalam skenario pemilihan mendatang, Zelensky kemungkinan akan menghadapi Jenderal Zaluzhnyi dalam putaran kedua pemilu," kata BBC Verify dalam analisisnya.
Ukraina Bukan Pihak yang Memulai perang
Trump juga menyalahkan Ukraina atas perang yang berlangsung sejak 2022 dengan mengatakan, "Kalian seharusnya tidak pernah memulainya". Klaim ini sangat mirip dengan propaganda Kremlin yang menyebut Ukraina sebagai pihak yang memulai konflik.
Pernyataan ini disampaikan Trump dalam wawancara di Mar-a-Lago, beberapa jam setelah pejabat AS bertemu dengan delegasi Rusia di Riyadh untuk membahas kemungkinan mengakhiri perang.
Mengutip BBC Verify pada Rabu, 19 Februari 2025, "Ukraina tidak memulai perang ini. Rusia melancarkan invasi besar-besaran pada Februari 2022 setelah sebelumnya mencaplok Crimea pada 2014."
Trump tampaknya mengabaikan fakta bahwa Rusia telah secara aktif mendukung kelompok separatis di wilayah timur Ukraina sejak 2014, serta melakukan aneksasi ilegal terhadap Crimea. BBC Verify juga mencatat bahwa "setelah kegagalan perjanjian yang bertujuan untuk mengakhiri konflik pasca-2014, Rusia mulai melakukan pembangunan besar-besaran pasukan di perbatasan Ukraina pada akhir 2021."
Pada 24 Februari 2022, Presiden Rusia Vladimir Putin melancarkan invasi ke Ukraina dengan alasan "demiliterisasi dan denazifikasi" terhadap pemerintah Ukraina yang pro-Barat. Namun,
laporan dari International Court of Justice (ICJ) menolak tuduhan Rusia bahwa Ukraina melakukan genosida terhadap penduduk berbahasa Rusia, yang sering dijadikan alasan Moskow untuk membenarkan agresinya.
BBC Verify juga menyoroti bahwa klaim Rusia mengenai "genosida" di wilayah Donetsk dan Luhansk tidak memiliki dasar hukum yang kuat. "ICJ telah menolak tuduhan Rusia bahwa Ukraina melakukan genosida, dan komunitas internasional secara luas menganggap alasan ini sebagai propaganda perang."
Selain itu, Trump menuding Ukraina seharusnya segera bernegosiasi dengan Rusia untuk menghindari konflik berkepanjangan. Namun, BBC Verify menekankan bahwa upaya diplomatik sudah dilakukan oleh Kyiv sebelum invasi penuh Rusia dimulai.
"Ukraina telah berulang kali menyatakan kesediaannya untuk berdialog, tetapi Moskow terus meningkatkan eskalasi dengan mengerahkan lebih banyak pasukan di sepanjang perbatasan," mengutip BBC Verify.
Adapun klaim dari Kremlin yang mendeklarasikan tujuan perang untuk "demilitarisasi dan denazifikasi" pemerintahan Zelensky yang dituduh telah diambil alih penganut neofasisme, meskipun fakta menunjukkan bahwa kelompok ekstrem kanan hanya mendapatkan
2% suara pada pemilu parlementer 2019.
Dengan demikian, klaim Trump bahwa Ukraina bertanggung jawab atas perang tidak hanya bertentangan dengan fakta sejarah, tetapi juga selaras dengan narasi yang digunakan oleh Kremlin untuk membenarkan invasi mereka.
Pernyataan Trump mengenai Ukraina, mulai dari klaim tentang Zelensky sebagai "diktator tanpa pemilu," popularitas presiden yang disebutnya hanya 4%, hingga tuduhan bahwa Ukraina yang memulai perang, telah terbukti sebagai misinformasi.
Mengutip BBC Verify, sebagian besar tuduhan Trump mencerminkan narasi propaganda yang sering disebarkan oleh Rusia untuk melemahkan posisi Ukraina di mata dunia internasional.
Sejumlah pemimpin dunia, termasuk Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz, menegaskan bahwa Zelensky tetap merupakan pemimpin sah Ukraina. "Ukraina telah mempertahankan diri dari agresi Rusia yang brutal selama hampir tiga tahun. Meragukan legitimasi Presiden Zelensky adalah tindakan yang berbahaya."