Ilustrasi Maulid Nabi Muhammad SAW. Ist
Riza Aslam Khaeron • 4 September 2025 14:42
Jakarta: Maulid Nabi Muhammad SAW merupakan salah satu perayaan penting dalam kalender umat Islam di seluruh dunia. Perayaan ini bukan hanya menjadi momen kebersamaan umat, tetapi juga kesempatan untuk meneguhkan kembali kecintaan kepada Rasulullah dan meneladani akhlaknya.
Di berbagai negara, termasuk Indonesia, Maulid Nabi dirayakan dengan penuh kekhusyukan melalui berbagai bentuk kegiatan keagamaan dan sosial, seperti pengajian, pembacaan syair pujian kepada Nabi, silaturahmi antarwarga, hingga santunan kepada yang membutuhkan.
Tradisi ini telah mengakar kuat dalam budaya Islam Nusantara dan menjadi wujud ekspresi kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Berikut penjelasan mengenai arti, waktu pelaksanaan, dan hukumnya dalam Islam.
Arti Maulid Nabi
Maulid Nabi atau Maulid saja berasal dari bahasa Arab "maulid" atau "milad" yang berarti hari kelahiran. Istilah ini merujuk pada peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW sebagai bentuk ekspresi cinta dan penghormatan umat
Islam terhadap Rasulullah.
Tradisi Maulid mulai berkembang setelah wafatnya Rasulullah SAW dan menjadi budaya yang dilestarikan di berbagai negara muslim, termasuk Indonesia.
Waktu Pelaksanaan Maulid Nabi
Tradisi perayaan Maulid Nabi pertama kali dilakukan secara formal oleh seorang penguasa Muslim bernama Raja Arbil, yaitu Al-Mudzaffar Abu Said Kukburi bin Zainuddin Ali bin Biktikin (549–630 H), sebagaimana disebutkan dalam karya Al-Imam Al Hafidz Jalaluddin As-Syuyuthi, seorang ulama besar abad ke-9–10 Hijriah.
Momentum ini kemudian menyebar dan diwarisi oleh berbagai wilayah muslim, termasuk Nusantara.
Dalam kitab Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir menyebut bahwa Raja Al-Mudzaffar mengadakan Maulid Nabi di bulan Rabi’ul Awal. Tradisi ini kemudian mengerucut pada dua tanggal utama:
- 12 Rabiul Awal, yang dirujuk oleh mayoritas umat Sunni Muslim
- 17 Rabiul Awal, yang dijadikan rujukan oleh kebanyakan kalangan Syiah.
Dalam HR Muslim no. 1162, disebutkan:
“
Rasulullah SAW ditanya tentang puasa pada hari Senin. Beliau menjawab: 'Itu adalah hari aku dilahirkan dan hari di mana wahyu pertama turun kepadaku.”
Kemudian Syekh Ibnul Haj dari Mazhab Maliki dalam kitab Al-Madkhal menyatakan:
“
Maka wajib bagi kita pada hari Senin tanggal dua belas Rabiul Awal menambah ibadah dan kebaikan, sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas apa yang dianugerahkan kepada kita berupa nikmat-nikmat besar ini, terutama nikmat kelahiran Nabi Muhammad shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam.” (Ibnul Haj Al-Maliki, Al-Madkhal, juz 1, h. 361)
Hukum Perayaan Maulid Nabi
Hukum memperingati Maulid Nabi tidak bersifat tunggal. Terdapat perbedaan pendapat yang cukup kuat di antara para ulama, terutama menyangkut apakah perayaan ini termasuk dalam bid’ah yang tercela atau bid’ah yang terpuji.
Di satu sisi, terdapat ulama Mazhab Maliki seperti Syekh Tajuddin Al-Fakihani yang menolak pelaksanaan Maulid. Ia menyampaikan kritik tersebut dalam karyanya Al-Mawrid Fi Amalil Maulid.
Namun, mayoritas ulama dari berbagai mazhab seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menerima Maulid sebagai bentuk kecintaan terhadap Rasulullah. Bahkan, Syekh Ahmad Ibnu Abidin menyebut perayaan tersebut sebagai “Bid’ah terpuji”.
Sementara itu, Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia menyampaikan kebolehannya dengan mengutip pendapat Ibnu Taimiyyah dalam
Iqtidhaus Shiratil Mustaqim fi Mukhalafati Ashhabil Jahim:
“
Maka memuliakan maulid, dan menjadikannya sebagai kebiasaan merupakan perbuatan yang dilakukan oleh sebagian orang. Dan baginya, pahala yang besar atas hal itu, karena baiknya niat, dan penghormatannya kepada Rasulullah shallallahu a’laihi wa’alihi wasahbihi wasallam.” (Ibnu Taymiyyah, Iqtidhaus Shiratil Mustaqim, Juz 1, h. 297)
Allah SWT juga berfirman dalam Surah Yunus ayat 58:
“
Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.”
Dan menurut penafsiran Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan rahmat-Nya dalam ayat tersebut adalah Rasulullah SAW itu sendiri, sehingga menjadi alasan syar’i untuk bergembira atas kelahiran beliau.