Sedang Pulih, Pemerintah Diminta Lindungi Industri Tekstil Dalam Negeri

Ilustrasi. Foto: Dok istimewa

Sedang Pulih, Pemerintah Diminta Lindungi Industri Tekstil Dalam Negeri

Eko Nordiansyah • 30 June 2025 12:56

Jakarta: Sektor tekstil nasional saat ini berada dalam fase pemulihan setelah menghadapi tekanan berat akibat pandemi dan disrupsi global lainnya. Di tengah upaya pemerintah dan pelaku usaha untuk mengembalikan daya saing industri ini, muncul fenomena yang justru memperkeruh keadaan.

Direktur Eksekutif Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas mengatakan, muncul tekanan regulasi oleh kelompok-kelompok yang mengklaim mewakili industri. Ia menyebut fenomena ini sebagai bentuk "premanisme regulasi", yakni upaya sistematis dari kelompok tertentu untuk memaksakan desakan terhadap kebijakan publik.

Salah satu kasus yang disorot adalah desakan dari Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) terkait pemberlakuan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk benang polyester POY dan DTY dari Tiongkok. Upaya ini sempat ditolak karena dikhawatirkan berdampak pada industri hilir.

“Terutama industri tekstil dan garmen, yang berpotensi menimbulkan puluhan ribu pemutusan hubungan kerja (PHK). Beruntung, pemerintah bersikap objektif dan sigap dengan menolak usulan tersebut berdasarkan analisis dampak menyeluruh,” kata dia kepada wartawan, Senin, 30 Juni 2025.

Lebih lanjut, Fernando menyoroti keterlibatan Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), yang mengklaim mewakili konsumen, namun secara aktif mendorong regulasi SNI wajib untuk seluruh produk tekstil. Menurutnya, hal ini patut dicurigai karena mengatasnamakan masyarakat.

“Perlu ditelusuri, apakah YKTI merupakan cabang dari Yayasan Konsumen Indonesia (YKI) atau hanya lembaga yang mengatasnamakan masyarakat. Selain itu keterkaitan organisasi tersebut dengan asosiasi produsen tertentu, yang secara tidak langsung menjadi alat tekanan terhadap pemerintah,” ujarnya.
 

Baca juga: 

Pernyataan Sikap API atas Tuduhan APSyFI ke Pemerintah



(Ilustrasi pekerja industri tekstil. Foto: Dok istimewa)

Kewajiban SNI pakaian jadi

Fernando menjelaskan, SNI wajib untuk pakaian jadi saat ini hanya diberlakukan pada kategori pakaian bayi. Penerapan itu pun berdasarkan alasan keselamatan konsumen, sehingga wajar jika pemerintah menerapkan kebijakan tersebut.

“Pakaian bayi yang tidak sesuai SNI bisa mengandung zat berbahaya seperti timbal, yang jika tergigit oleh bayi bisa membahayakan kesehatan. Maka, penerapan SNI wajib untuk segmen ini sangat wajar,” tegas dia.

Namun, perlu kajian komprehensif sebelum memperluas kewajiban SNI ke seluruh produk pakaian jadi. Berdasarkan data Sakernas BPS, terdapat lebih dari 909 ribu industri pakaian jadi mikro, serta sekitar 5.800 industri besar dan menengah, yang menyerap hampir 2,9 juta tenaga kerja.

“Kalau semua diwajibkan mengurus SNI hanya untuk bisa menjual produk, apakah negara siap menjamin tidak akan terjadi kriminalisasi terhadap pelaku UMKM yang hanya memiliki 2–3 mesin jahit di rumahnya?” tanya Fernando.

Menurutnya, yang jauh lebih mendesak adalah pembenahan tata niaga impor pakaian jadi, yang saat ini tengah dibahas dan diharapkan segera diberlakukan. Ia pun berharap pemerintah fokus agar tidak dibelokkan oleh tekanan dari kelompok-kelompok yang mengedepankan kepentingan sempit.

Ia juga meminta Kementerian Hukum dan HAM untuk melakukan evaluasi bahkan pencabutan izin organisasi yang melakukan tekanan tidak sehat terhadap proses penyusunan kebijakan industri. Ia menilai, tindakan seperti ini berpotensi mengganggu pelaksanaan program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.

“Presiden Prabowo telah berkomitmen untuk mendorong perluasan investasi dan penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor strategis. Maka jangan sampai program besar ini diganggu oleh kepentingan segelintir pihak yang melakukan tekanan melalui organisasi yang tidak legitimate,” tutup Fernando.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)