169 Jurnalis Tewas dalam Perang Gaza dan Lebanon

Mohamed Al-Masry (kiri) dan Hossam Shabat, jurnalis Al Jazeera Mubasher, terluka pada 19 November 2024, ketika serangan udara Israel menghantam sebuah rumah di lingkungan Al-Basra, Gaza bagian selatan. (Foto: Hossam Shabat via CPJ)

169 Jurnalis Tewas dalam Perang Gaza dan Lebanon

Riza Aslam Khaeron • 9 February 2025 15:48

Jakarta: Pada Hari Pers Nasional (HPN) yang diperingati hari ini, tema “Pers Mengawal Ketahanan Pangan untuk Kemandirian Bangsa” mengingatkan kita akan peran penting jurnalis dalam mendukung masyarakat.

Namun, di tengah perayaan ini, Komite Perlindungan Jurnalis (Committee to Protect Journalists/CPJ) melaporkan pada 7 Februari 2025 bahwa bahwa setidaknya 169 jurnalis dan pekerja media tewas dalam perang yang berlangsung di Gaza, Tepi Barat, Israel, dan Lebanon.

Melansir CPJ pada Minggu, 9 Februari 2025, angka ini mencakup 161 jurnalis Palestina, dua jurnalis Israel, dan enam jurnalis Lebanon. Konflik ini menjadi periode paling mematikan bagi jurnalis sejak CPJ mulai mengumpulkan data pada tahun 1992.
 

Risiko Tinggi bagi Jurnalis Gaza

Jurnalis di Gaza menghadapi risiko luar biasa tinggi. Mereka harus bekerja di tengah serangan udara Israel, kondisi kelaparan, dan pengungsian besar-besaran. Berdasarkan data CPJ, lebih dari 90 persen penduduk Gaza telah mengungsi, sementara 80 persen bangunan di wilayah tersebut hancur.

CPJ menyoroti banyak kasus serangan langsung terhadap jurnalis, termasuk penggunaan serangan udara di area-area yang diketahui sebagai lokasi liputan media. Beberapa jurnalis bahkan menjadi sasaran meskipun mengenakan jaket bertuliskan "Press" dan menggunakan kendaraan yang jelas ditandai.

“Sejak perang di Gaza dimulai, jurnalis telah membayar harga tertinggi – nyawa mereka – untuk pelaporan mereka. Tanpa perlindungan, peralatan, kehadiran internasional, komunikasi, atau makanan dan air, mereka tetap menjalankan tugas penting untuk memberi tahu dunia kebenaran,” ujar Direktur Program CPJ, Carlos Martinez de la Serna.
 

Pelanggaran Hukum Internasional

CPJ menegaskan bahwa jurnalis adalah warga sipil yang dilindungi oleh hukum internasional. Menargetkan warga sipil secara sengaja merupakan kejahatan perang. Pada Mei 2024, Pengadilan Kriminal Internasional mengumumkan akan mengajukan permohonan surat perintah penangkapan bagi pemimpin Hamas dan Israel atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Beberapa insiden mencolok termasuk serangan terhadap kamp pengungsi dan fasilitas medis di Gaza, yang melibatkan kematian dan cedera bagi jurnalis yang sedang meliput. Misalnya, wartawan Ali Al-Attar dari Al Jazeera terluka parah dalam serangan udara yang menghantam tenda pengungsi di depan Rumah Sakit Al-Aqsa Martyrs. Kondisinya kritis akibat pecahan peluru di kepala.
 

Kekerasan terhadap Jurnalis

Selain korban tewas, CPJ mencatat setidaknya:
 
Status Jurnalis Jumlah Detail
Terkonfirmasi Tewas 169 161 Warga Palestina, 2 Warga Israel, 6 Warga Lebanon
Terluka 49  
Menghilang 2  
Ditahan 75  

Serangan fisik, ancaman, penyensoran, hingga pembunuhan anggota keluarga jurnalis turut dilaporkan. Jurnalis Palestina seperti Mohammed Al-Za'anin, seorang juru kamera, harus menjalani perawatan intensif setelah terkena pecahan peluru di mata. Kasus lain termasuk serangan langsung terhadap wartawan menggunakan drone dan tembakan senjata api.
 

Seruan Akhiri Impunitas

CPJ menyerukan diakhirinya impunitas dalam kasus jurnalis yang tewas akibat serangan Israel. Para ahli PBB juga menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya kekerasan terhadap jurnalis.

“Kami sangat prihatin dengan jumlah jurnalis dan pekerja media yang tewas, diserang, terluka, dan ditahan di Wilayah Pendudukan Palestina, khususnya di Gaza, dalam beberapa bulan terakhir yang secara terang-terangan mengabaikan hukum internasional,” ujar pernyataan resmi mereka pada Februari 2025.
 
Baca Juga:
Lebanon Bentuk Pemerintahan Baru, Kekuatan Hizbullah Berkurang
 

Tantangan Pelaporan dalam Konflik

CPJ mengungkapkan bahwa dokumentasi kasus pembunuhan, penangkapan, dan cedera jurnalis sangat sulit dilakukan di tengah kondisi perang.

“Setiap kali seorang jurnalis dibunuh, terluka, ditangkap, atau dipaksa mengungsi, kita kehilangan fragmen dari kebenaran,” ujar Martinez de la Serna.

Namun, meskipun menghadapi ancaman ini, banyak jurnalis terus bekerja tanpa henti, bahkan ketika mereka menghadapi tuduhan tanpa bukti yang dibuat untuk merusak kredibilitas mereka. Beberapa media internasional menyerukan dukungan kepada komunitas jurnalis dan tekanan pada pihak berwenang untuk menghentikan kekerasan yang melibatkan media.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)