Mengenal Meugang, Tradisi Khas Aceh Menjelang Ramadan

Warga Aceh pergi ke pasar untuk membeli daging. (Dok. Pemkot Banda Aceh)

Mengenal Meugang, Tradisi Khas Aceh Menjelang Ramadan

Riza Aslam Khaeron • 3 March 2025 12:25

Jakarta: Ramadan 2025 segera tiba, dan masyarakat Aceh kembali menyambut bulan suci ini dengan tradisi khas yang telah diwariskan secara turun-temurun, yaitu Meugang. Tradisi ini menjadi momen istimewa bagi masyarakat Aceh untuk berkumpul dan menikmati hidangan daging sebelum memasuki bulan puasa.

Lantas, bagaimana sejarah, pelaksanaan, dan makna dari Meugang ini?
 

Apa Itu Meugang?

“Gang” dalam bahasa Aceh berarti pasar, ketika Ramadan tiba, pasar di Aceh mendapatkan lebih banyak pengunjung dari biasanya yang memunculkan istilah “Makmu that gang nyan “(makmur sekali pasar itu) atau Makmeugang.

Meugang adalah tradisi masyarakat Aceh yang dilakukan sehari atau dua hari sebelum bulan Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Tradisi ini melibatkan pemotongan hewan seperti sapi atau kerbau yang kemudian dimasak dan dinikmati bersama keluarga. Dalam masyarakat Aceh, Meugang bukan sekadar makan daging, tetapi juga simbol rasa syukur dan kebersamaan.

Mengutip laman Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Aceh pada Senin, 3 Maret 2025, Meugang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sosial masyarakat Aceh. Selain sebagai wujud syukur, tradisi ini juga mencerminkan nilai solidaritas, karena masyarakat yang mampu akan berbagi daging dengan kaum dhuafa dan anak yatim.

Selain itu, Meugang juga dianggap sebagai momen untuk menyucikan diri sebelum memasuki bulan Ramadan, di mana masyarakat Aceh meyakini bahwa rezeki yang didapat sepanjang tahun harus dinikmati bersama keluarga dan sesama.
 

Sejarah Meugang

Melansir laman Pemerintah Kota Banda Aceh pada Senin, 3 Maret 2025, Meugang merupakan tradisi yang telah berlangsung sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-14 Masehi. Tradisi ini disebutkan dalam berbagai catatan sejarah sebagai bagian dari kebijakan sosial kerajaan.

Sultan Iskandar Muda diketahui memerintahkan pemotongan hewan dalam jumlah besar untuk dibagikan kepada rakyatnya sebagai bentuk rasa syukur serta simbol kemakmuran menjelang bulan suci Ramadan.

Bahkan, daging juga diberikan kepada fakir miskin melalui lembaga kerajaan yang dikenal sebagai Balai Fakir, yang bertugas menyalurkan bantuan kepada masyarakat kurang mampu.

Denys Lombard dalam bukunya Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda mencatat bahwa Meugang bukan sekadar ritual sosial, tetapi juga bagian dari upacara kebangsawanan. Peletakan karangan bunga di makam para sultan pada hari Meugang menunjukkan bahwa tradisi ini memiliki nilai penghormatan terhadap leluhur dan para pemimpin terdahulu.

Selain itu, dalam beberapa sumber lain disebutkan bahwa Meugang juga menjadi bagian dari strategi Sultan untuk memperkuat hubungan dengan rakyatnya melalui pembagian daging gratis yang dibiayai oleh bendahara kerajaan.

Seiring berjalannya waktu, setelah masa penjajahan Belanda dan berakhirnya kekuasaan Kesultanan Aceh, Meugang tetap dilestarikan oleh masyarakat Aceh. Meski tidak lagi didanai oleh kerajaan, masyarakat tetap menjalankan tradisi ini secara mandiri.

Setiap keluarga berusaha membeli dan memasak daging untuk dinikmati bersama keluarga, tetangga, dan bahkan fakir miskin sebagai bentuk solidaritas sosial. Hingga kini, tradisi Meugang masih berlangsung dengan penuh semangat di berbagai pelosok Aceh.
 

Pelaksanaan Meugang

Tradisi Meugang dilaksanakan sebanyak tiga kali dalam setahun, yaitu:

1. Dua hari sebelum Ramadan – Sebagai bentuk persiapan menyambut bulan suci.
2. Dua hari menjelang Idul Fitri – Sebagai perayaan setelah sebulan berpuasa.
3. Dua hari menjelang Idul Adha – Bertepatan dengan hari raya kurban.

Pada hari Meugang, masyarakat Aceh akan membanjiri pasar tradisional untuk membeli daging sapi atau kerbau. Harga daging biasanya meningkat hingga dua kali lipat dibanding hari biasa karena tingginya permintaan. Meski demikian, masyarakat tetap berusaha mendapatkan daging karena Meugang bukan sekadar tradisi, tetapi juga simbol harga diri dan kehormatan keluarga.
 

Menu Khas Meugang

Setiap daerah di Aceh memiliki cara tersendiri dalam mengolah daging Meugang. Beberapa hidangan khas yang biasa disajikan antara lain:

1. Sie Reuboh – Daging yang dimasak dengan cuka dan rempah-rempah.
2. Gulai Merah – Kari khas Aceh yang berwarna merah dengan cita rasa pedas.
3. Rendang Aceh – Berbeda dengan rendang Padang, versi Aceh memiliki bumbu yang lebih ringan.
4. Masak Asam Keueung – Daging sapi yang dimasak dengan asam dan cabai untuk menciptakan rasa asam pedas.

Selain daging, masyarakat Aceh juga menyajikan makanan khas lainnya seperti tape, leumang (ketan panggang dalam bambu), dan timphan (kue ketan berisi srikaya atau kelapa).
 
Baca Juga:
Kok Merokok Membatalkan Puasa? Ini Penjelasan Fikih dan Musababnya
 

Makna Sosial dan Religius Meugang

Meugang bukan hanya tentang menikmati makanan, tetapi juga memiliki nilai sosial dan religius yang mendalam. Meugang menjadi ajang mempererat silaturahmi keluarga. Anak-anak yang merantau biasanya akan pulang ke kampung halaman untuk berkumpul dengan keluarga.

Selain itu, Meugang juga mengajarkan pentingnya berbagi, karena masyarakat yang mampu akan membagikan daging kepada fakir miskin dan anak yatim.

Namun, Meugang juga memiliki tantangan tersendiri. Dalam beberapa komunitas, tradisi ini menjadi ajang pembuktian status ekonomi, terutama bagi laki-laki. Seorang pria di Aceh dianggap lebih terhormat jika mampu membawa pulang daging dalam jumlah besar.

Bahkan, dalam beberapa kasus, seorang suami yang tidak mampu membeli daging dalam jumlah cukup akan dianggap rendah di mata keluarga mertuanya. Dalam lingkungan sosial yang masih kuat adatnya, seorang pengantin baru diharapkan membawa pulang minimal 5 kilogram daging, jika tidak, ia bisa menjadi bahan pergunjingan.

Selain itu, harga daging yang melonjak saat Meugang juga menimbulkan masalah ekonomi bagi masyarakat yang kurang mampu. Beberapa keluarga bahkan terpaksa berutang demi bisa membeli daging untuk Meugang. Fenomena ini menciptakan kesenjangan sosial yang cukup tajam antara mereka yang mampu dan tidak mampu.

Meugang merupakan tradisi khas Aceh yang telah berlangsung sejak zaman Kesultanan Aceh Darussalam dan terus lestari hingga kini. Lebih dari sekadar makan bersama, Meugang memiliki makna sosial, religius, dan budaya yang mendalam.

Tradisi ini bukan hanya simbol rasa syukur menyambut Ramadan, tetapi juga momentum mempererat tali persaudaraan dan berbagi dengan sesama. Bagi masyarakat Aceh, Meugang adalah bagian tak terpisahkan dari identitas dan warisan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)