Apa yang Terjadi di Sudan dan Mengapa Perang Belum Usai

Sudan dilanda konflik antara tentara dengan pasukan paramiliter RSF. Foto: Anadolu

Apa yang Terjadi di Sudan dan Mengapa Perang Belum Usai

Muhammad Reyhansyah • 6 November 2025 12:05

Khartoum: Sudan terjerumus ke dalam perang saudara pada April 2023 setelah perebutan kekuasaan antara militer dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF). 

Pertempuran yang awalnya terjadi di ibu kota Khartoum kini meluas ke seluruh negeri, menyebabkan lebih dari 150.000 orang tewas dan sekitar 12 juta lainnya mengungsi. PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini.

Ketegangan ini merupakan kelanjutan dari gejolak politik sejak penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada 2019. Setelah tiga dekade berkuasa melalui kudeta pada 1989, Bashir digulingkan oleh militer menyusul demonstrasi besar yang menuntut demokrasi. 

Pemerintahan transisi sipil-militer yang terbentuk kemudian juga tumbang akibat kudeta pada Oktober 2021, yang dipimpin oleh dua tokoh utama konflik saat ini: Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dari militer dan wakilnya, pemimpin RSF Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau “Hemedti”.

Perselisihan keduanya berakar pada rencana integrasi 100.000 pasukan RSF ke dalam angkatan bersenjata dan siapa yang akan memimpin kekuatan gabungan tersebut. Ketegangan memuncak pada 15 April 2023, ketika bentrokan bersenjata pecah di Khartoum dan dengan cepat menyebar ke seluruh negeri. RSF sempat menguasai sebagian besar ibu kota hingga Maret 2025, sebelum pasukan pemerintah berhasil merebutnya kembali.

Siapa Sebenarnya RSF?

Mengutip dari BBC, Kamis, 6 November 2025, RSF dibentuk pada 2013 dan berakar dari milisi Janjaweed yang dituduh melakukan kekejaman terhadap warga non-Arab di Darfur. 

Di bawah kendali Hemedti, RSF menjadi pasukan kuat dengan pengalaman tempur di Yaman dan Libya serta menguasai tambang emas yang hasilnya diduga diselundupkan ke Uni Emirat Arab (UEA). Militer menuduh UEA membantu RSF lewat serangan drone, tuduhan yang dibantah oleh pihak UEA.

Militer juga menuding jenderal Libya, Khalifa Haftar, membantu penyelundupan senjata ke Sudan. Pada Juni 2025, RSF merebut wilayah perbatasan dengan Libya dan Mesir, lalu menguasai kota el-Fasher di Darfur pada Oktober, membuat mereka mengendalikan hampir seluruh wilayah Darfur dan sebagian Kordofan. Dengan pembentukan pemerintahan tandingan oleh RSF, pengamat memperkirakan Sudan berisiko terpecah kembali seperti saat Sudan Selatan memisahkan diri pada 2011.


Kekuatan Militer dan Wilayah yang Dikuasai

Sementara itu, militer menguasai sebagian besar wilayah utara dan timur Sudan, dengan dukungan utama dari Mesir. Jenderal Burhan menjadikan Port Sudan di Laut Merah sebagai markas pemerintah yang diakui PBB, meski kota itu juga sempat diserang drone RSF pada Maret lalu.

Setelah berhasil merebut kembali Khartoum, Burhan menyatakan kemenangan dengan berkata, “Khartoum telah bebas, semuanya selesai.” Namun ibu kota sudah hancur: gedung-gedung pemerintahan hangus terbakar, rumah sakit luluh lantak, dan bandara dipenuhi bangkai pesawat. Bandara itu baru dibuka kembali untuk penerbangan domestik pada Oktober.

Militer juga memulihkan kendali atas Negara Bagian Gezira yang strategis, namun kehilangan El-Fasher menjadi pukulan besar. Selama 18 bulan, RSF mengepung kota itu, menghancurkan kamp pengungsian Zamzam dan memblokir pasokan makanan bagi sekitar 250.000 penduduk yang sebagian besar berasal dari komunitas non-Arab.

Tuduhan Genosida di Darfur

Wilayah Darfur kembali menjadi pusat tragedi kemanusiaan. Banyak warga menuduh RSF berupaya mengubah kawasan multietnis itu menjadi wilayah yang dikuasai kelompok Arab. UNICEF pada Maret 2024 melaporkan kekerasan seksual terhadap anak-anak, bahkan yang masih balita.

Human Rights Watch menilai tindakan RSF dan milisi sekutunya di Darfur dapat dikategorikan sebagai genosida terhadap komunitas Massalit dan kelompok non-Arab lain. Ribuan orang terbunuh di kota el-Geneina dalam kampanye pembersihan etnis yang bertujuan mengusir penduduk setempat secara permanen.

Penyelidikan PBB kemudian menyimpulkan bahwa kedua pihak—RSF dan militer telah melakukan kejahatan perang, tetapi tidak secara tegas menyebut adanya genosida. Sebaliknya, pemerintah Amerika Serikat pada Januari 2025 menetapkan bahwa RSF dan milisi pendukungnya telah melakukan genosida.

“Mereka secara sistematis membunuh pria dan anak laki-laki berdasarkan etnis, serta memperkosa perempuan dan anak perempuan dari kelompok tertentu,” kata Menteri Luar Negeri AS saat itu, Antony Blinken. Atas dasar itu, AS menjatuhkan sanksi kepada Hemedti dan Jenderal Burhan.

Pemerintah Sudan kemudian menggugat UEA ke Mahkamah Internasional, menuduh negara itu berperan dalam pendanaan RSF. Namun pengadilan menolak perkara tersebut karena tidak memiliki yurisdiksi. UEA menyambut keputusan itu dan menegaskan tidak bertanggung jawab atas konflik. RSF juga membantah tuduhan genosida, menyebut kekerasan di Darfur sebagai “konflik antar-suku.”

Upaya Perdamaian yang Gagal

Sejumlah perundingan damai di Arab Saudi dan Bahrain gagal menghasilkan kesepakatan gencatan senjata. Menurut BBC, kedua pihak, terutama militer, enggan berkompromi. Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menilai minimnya perhatian dunia terhadap Sudan dan konflik di Afrika lainnya dipengaruhi faktor rasial.

Lembaga International Crisis Group menyebut upaya diplomatik dunia “setengah hati,” sementara Amnesty International menilai respons global “sangat buruk.” Situasi diperparah oleh pemotongan bantuan luar negeri oleh pemerintahan Trump. Program Pangan Dunia mencatat lebih dari 24 juta orang kini menghadapi kelaparan akut.

Sekitar 80 persen dapur umum darurat telah tutup karena kekurangan dana dan keamanan yang memburuk. Para relawan menyebut perang Sudan kini menjadi “perang yang terlupakan” di mata dunia.

Sudan di Peta Dunia

Sudan terletak di Afrika Timur Laut dan merupakan salah satu negara terbesar di benua tersebut, dengan luas 1,9 juta kilometer persegi. Negara ini berbatasan dengan tujuh negara serta Laut Merah, dan dilintasi Sungai Nil yang menjadikannya strategis bagi kekuatan regional. Penduduknya mayoritas Muslim, dengan bahasa resmi Arab dan Inggris.

Bahkan sebelum perang, Sudan sudah termasuk negara termiskin di dunia meskipun kaya sumber daya emas. Dengan populasi sekitar 46 juta jiwa, pendapatan tahunan per kapita hanya sekitar 750 dolar AS pada 2022. Kini, menurut Menteri Keuangan Sudan, pendapatan negara telah merosot hingga 80% akibat perang yang terus berlanjut.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Fajar Nugraha)