Ilustrasi. Foto: Dok MI
M Ilham Ramadhan Avisena • 26 July 2025 12:15
Jakarta: Badan Pusat Statistik (BPS) baru saja melaporkan tingkat kemiskinan nasional menurun menjadi 8,47 persen per Maret 2025. Namun itu dinilai tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat. Penurunan sebesar 0,1 persen poin dibandingkan September 2024 dipandang terlalu kecil untuk disebut sebagai keberhasilan besar.
Center of Economic and Law Studies (Celios) bahkan menyebut angka resmi BPS jauh dari realitas di lapangan. Berdasarkan laporan Bank Dunia terbaru, sekitar 68,2 persen penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan internasional, atau sekitar 194,4 juta jiwa, jauh di atas angka resmi BPS yang mencatat 23,8 juta jiwa.
"Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan sama saja data nya kurang valid," kata Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira melalui keterangannya, dikutip Sabtu, 26 Juli 2025.
Perbedaan definisi dan pendekatan memang menjadi faktor utama disparitas antara data nasional dan data internasional. Namun Celios menilai akar persoalan terletak pada metodologi pengukuran kemiskinan yang usang dan tak lagi relevan.
BPS selama lima dekade masih menggunakan pendekatan berbasis pengeluaran dengan item yang hampir tidak berubah, meski struktur biaya hidup masyarakat telah jauh bergeser.
Bhima juga menyoroti dampak dari ketidakakuratan data terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. Menurutnya, data BPS seharusnya bisa digunakan sebagai acuan dalam menyalurkan bantuan sosial.
Namun karena data tersebut tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, pemerintah justru mengeluarkan biaya lebih besar untuk mencari data alternatif. "Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS," ujarnya.
Baca juga:
Pemerintah Nilai Penurunan Angka Kemiskinan Berkat Program Ekonomi |
Kritik serupa juga disampaikan Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar. Ia menegaskan pendekatan usang BPS berpengaruh langsung pada kebijakan anggaran dan perlindungan sosial. Karena angka kemiskinan resmi terlihat kecil, alokasi anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pun berisiko ditekan.
"Dengan jumlah penduduk miskin yang kecil versi data pemerintah, maka alokasi anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026 juga berpotensi ditekan atau tidak akan mengalami peningkatan signifikan," kata Media.
Ia menambahkan, anggaran perlindungan sosial Indonesia hanya sekitar satu persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang mencapai lebih dari lima persen dari PDB.
Masalah lain yang timbul akibat garis kemiskinan yang terlalu rendah adalah terbatasnya jangkauan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Banyak masyarakat rentan tidak masuk kategori miskin versi BPS, sehingga otomatis tak mendapatkan bantuan sosial.
"Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun," jelas Media.
Celios mendorong reformasi besar-besaran dalam metodologi pengukuran kemiskinan nasional. Negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa telah menyesuaikan metode mereka sesuai dinamika sosial ekonomi terkini. Indonesia, kata Celios, seharusnya melakukan hal yang sama, termasuk dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mendefinisikan ulang kemiskinan secara lintas sektoral.
Lebih jauh, Celios mengusulkan pendekatan berbasis pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income), bukan lagi sekadar pengeluaran. Dengan demikian, efektivitas kebijakan fiskal dan distribusi pendapatan negara bisa benar-benar diukur dari dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.
Selain itu, Celios menekankan pentingnya mengintegrasikan berbagai indikator kesejahteraan dalam evaluasi pembangunan. Akses pendidikan, layanan kesehatan, kondisi perumahan, jaminan sosial, hingga angka pengangguran dan korupsi seharusnya masuk dalam satu kerangka penilaian kebijakan publik.