Anggota Komisi I DPR Fraksi NasDem Andina Thresia Narang. Istimewa
Jakarta: Anggota Komisi I DPR Fraksi NasDem Andina Thresia Narang menilai pemerintah perlu segera mengkaji berbagai opsi pembatasan dan pengaturan akses media sosial bagi anak di bawah umur. Namun, dengan tetap menjaga ruang kreativitas dan kebebasan berekspresi yang sehat.
Andina mengatakan Malaysia sudah bergerak dengan rencana melarang media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun. Australia juga sedang memperketat aturan usia pengguna media sosial.
"Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita perlu mengkaji secara serius apa model pengaturan yang paling tepat untuk konteks kita," kata Andina dalam keterangannya, Rabu, 26 November 2025.
Andina menegaskan kekhawatiran utama bukan sekadar soal gawai atau aplikasi, tetapi eksposur anak terhadap berbagai bentuk kejahatan dan konten berbahaya di ruang digital. Ia menyebut sejumlah risiko yang terus meningkat, mulai dari paparan paham radikal dan terorisme, penculikan yang berawal dari pertemanan di media sosial, penipuan dan eksploitasi ekonomi, hingga pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak.
"Kasus-kasus kejahatan yang menyasar anak di ruang digital sudah terlalu banyak. Anak bisa direkrut, diperdaya, dan dieksploitasi hanya lewat satu akun media sosial. Negara tidak boleh terlambat memberikan pagar yang jelas untuk melindungi mereka," tegas Andina.
Legislator
NasDem itu mengapresiasi langkah pemerintah yang telah menerbitkan regulasi terkait pelindungan anak di ruang digital lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak atau PP Tunas.
Aturan ini mewajibkan platform digital untuk melakukan verifikasi usia, menyaring konten berbahaya, serta menyediakan mekanisme pelaporan dan penanganan yang lebih ramah anak.
"PP Tunas adalah kemajuan penting dan patut diapresiasi. Namun, saat ini ia masih berada pada level peraturan pemerintah. Ke depan, Komisi I memandang perlu ada penguatan di level undang-undang agar perlindungan anak di ruang digital memiliki basis hukum yang lebih kuat dan komprehensif," jelas Andina.
Ia menilai, langkah negara-negara tetangga yang memasukkan isu perlindungan anak di ruang digital dan pembatasan usia media sosial ke dalam kerangka undang-undang seharusnya menjadi bahan perbandingan bagi Indonesia. Menurutnya, pembelajaran dari Malaysia, Australia, dan negara lain dapat membantu Indonesia merancang aturan yang seimbang antara perlindungan, pendidikan digital, dan ruang bagi inovasi.
"Banyak negara sudah bergerak dari sekadar imbauan dan regulasi teknis menuju pengaturan yang lebih kokoh di undang-undang. Indonesia perlu mempelajari praktik baik itu, bukan untuk menyalin mentah-mentah, tetapi untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan nilai-nilai kita sendiri," kata Andina.
Media sosial ilustrasi. Metrotvnews.com
Andina menekankan, setiap kebijakan pembatasan akses media sosial bagi anak harus dilandasi pendekatan kepentingan terbaik bagi anak, didukung data dan kajian akademik. Selain itu, melibatkan banyak pemangku kepentingan, termasuk orang tua, guru, psikolog, pegiat perlindungan anak, pelaku industri digital, dan komunitas kreator konten.
"Kita tidak ingin sekadar membuat aturan yang sulit dilaksanakan di lapangan. Yang dibutuhkan adalah desain kebijakan yang realistis, dapat diawasi, dan benar-benar melindungi anak. Itu berarti kita juga harus memperkuat literasi digital, peran keluarga, dan pendidikan karakter, bukan hanya mengandalkan sanksi," ujar Andina.
Sebelumnya, Andina juga mendorong pengaturan lisensi atau sertifikasi bagi influencer yang memproduksi konten berisiko tinggi, seperti kesehatan, keuangan, dan hukum. Menurutnya, pengaturan lisensi influencer dan pembatasan akses media sosial bagi anak adalah dua sisi dari agenda besar yang sama, yaitu memastikan ruang digital yang aman, sehat, dan bertanggung jawab bagi publik, khususnya kelompok rentan seperti anak.
"Ruang digital Indonesia harus tetap kreatif dan dinamis, tetapi keamanan dan keselamatan anak adalah prioritas yang tidak bisa ditawar," ungkap Andina.