Mengampuni Koruptor Dinilai Menyuburkan Praktik Korupsi

Ilustrasi--Tersangka kasus korupsi penyediaan APD Kemenkes. (Medcom.id/Candra Yuri)

Mengampuni Koruptor Dinilai Menyuburkan Praktik Korupsi

Tri Subarkah • 29 December 2024 05:38

Jakarta: Wacana memaafkan koruptor selama mengembalikan hasil korupsi ke kas negara sebagaimana yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto dinilai sangat berbahaya. Jika wacana tersebut direalisasikan, makin banyak orang yang berani melakukan korupsi. Apalagi, jika syarat lolos dari hukumnya hanya mengembalikan kerugian negara.

Bagi pakar hukum korupsi dan pencucian uang yang juga mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein, penegakan hukum yang lemah justru akan menyuburkan praktik korupsi di Tanah Air. Konsekuensinya panjang, sampai merusak tatanan negara.

"Ketika tinggi tingkat korupsi, makin enggak bersih pemerintahan ini, akan banyak kerugian negara. Negara akan makin susah dijalankan, akan berantakan praktik-paktik kenegaraan karena korupsi," ujarnya kepada Media Indonesia, Jumat, 27 Desember 2024.

Selain itu, wacana yang disampaikan Prabowo di hadapan mahasiswa Indonesia saat berkunjung ke Kairo, Mesir, tersebut juga dinilai Yunus bertentangan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Koruspi (Tipikor). Pasalnya, tidak ada satupun pasal dalam beleid tersebut yang dapat membebaskan koruptor, meski sudah mengembalikan kerugian negara.

Pasal 4 Undang-Undang Tipikor telah jelas menggariskan bahwa pengembalian kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana. Namun, Yunus mengingatkan bahwa pengembalian itu hanya dapat menjadi salah satu faktor yang meringankan hukuman.
 

Baca juga: Bantah Maafkan Koruptor, Prabowo: Hanya Beri Ruang untuk Bertaubat

Ia setuju dengan hal tersebut, selama penghukuman badan para korupsi tidak dibikin nihil sama sekali. Bagi Yunus, hukuman badan merupakan cara menimbulkan efek jera terhadap koruptor dan peringatan kepada calon koruptor. Apalagi, regulasi yang mengatur penghukuman badan bagi pelaku tindak pidana seperti koruptor masih berlaku.

"KUHP baru berlaku tahun depan, masak enggak dipakai? UU Tipikor semuanya masih ada. Kalau mau, ikutlah UU yang ada," tandasnya.

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setyo Budiyanto menilai wacana yang digulirkan Presiden masih bersifat umum. Ia berpendapat, konteks yang disampaikan Prabowo kemungkinan belum dapat diartikan secara utuh. Pihaknya pun menunggu langkah lebih lanjut yang bakal dilakukan pembantu Prabowo.

Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Nasyirul Falah Amru, menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara hukum. Baginya, aparat penegak hukum tetap harus memberikan hukuman kepada koruptor.

"Yang paling utama kan negara kita negara hukum, yang paling utama kan ya yang korupsi kan dia harus mengembalikan uang dulu, jangan kemudian langsung dikasih ampunan, harus kita usut," terangnya.

Belakangan, Prabowo mengklarifikasi pernyataannya soal pengampunan koruptor. Saat perayaan Natal Nasional 2024 di Indonesia Arena, Jakarta, Sabtu, 28 Desember 2024, ia lebih fokus pada niatan koruptor untuk bertobat. Meskipun, para koruptor itu tetap wajib mengembalikan uang yang telah dicuri.

"Bukan saya maafkan koruptor, tidak. Saya mau sadarkan mereka yang sudah terlanjur dulu berbuat dosa, ya, bertobatlah. Itu kan ajaran agama. Kasihan rakyat. Kembalikan uang itu sebelum kita cari hartamu ke mana, kita akan cari," aku Prabowo.
 
Baca juga: Presiden Prabowo Sebut Koruptor Tak Suka Pemerintahannya

Namun, rencana memaafkan koruptor yang disampaikan Prabowo sebelumnya sudah kadung ditindaklanjuti oleh pemerintah. Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, misalnya, meski sudah menyampaikan minta maaf, sempat mengatakan bahwa pelaku tindak pidana seperti koruptor dapat diberikan pengampunan lewat denda damai.

Menurut Supratman, mekanisme denda damai dapat diberikan oleh Jaksa Agung. Aturannya sudah termaktub dalam Undang-Undang Nomor 11/2021 tentang Kejaksaan. Ia menjelaskan, denda damai merupakan mekanisme penghentian perkara di luar pengadilan dengan membayar denda yang disetujui oleh Jaksa Agung.

Kendati demikian, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengatakan pidana yang dapat diselesaikan lewat denda damai itu hanya tindak pidana ekonomi berdasarkan peraturan perekonomian. Ketentuan denda damai diatur dalam Pasal 35 ayat (1) huruf k UU tentang Kejaksaan.

"Penyelesaian secara denda damai yang dimaksud dlam pasal ini adalah untuk UU sektoral yang merugikan perekonomian negara dan termasuk dalam tindak pidana ekonomi, misalnya tindak pidana kepabeanan, cukai, dan lain-lain," terang Harli.

Sementara, Harli menegaskan bahwa penyelesaian tindak pidana korupsi (tipikor) yang dilakukan oleh kejaksaan tetap mengacu pada UU tentang Tipikor yang di antaranya telah diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3. 

Dari aspek yuridis, Harli mengatakan bahwa tipikor tak termasuk tindak pidana yang dapat diterapkan denda damai sebagaimana yang diatur Pasal 35 ayat (1) huruf k UU Kejaksaan.

"Kecuali ada definisi yang memasukkan korupsi sebagai tindak pidana ekonomi," jelasnya.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Meilikhah)