Ilustrasi PNS. Foto: MI/Ramdani
Jakarta: Penaikan upah aparatur sipil negara (ASN) sebesar 8 persen dinilai diskriminatif dan telah melukai hati pekerja maupun buruh yang lebih banyak berkontribusi pada perekonomian dalam negeri.
“Pemerintah secara sadar maupun tidak sadar telah melakukan diskriminasi terhadap rakyatnya sendiri, terutama pada masyarakat yang levelnya sama, yaitu pekerja,” ungkap Presiden Asosiasi Serikta Pekerja (Aspek) Indonesia Mirah Sumirat dilansir Media Indonesia, Jumat, 5 Januari 2024.
Menurutnya, pemerintah secara terang-terangan telah melakukan diskriminasi kepada masyarakat pekerja.
Perbedaan upah itu dinilai terlampau jauh. Pasalnya, secara rerata kenaikan upah minimum pekerja di Indonesia tahun ini hanya di kisaran 3 persen.
Padahal, baik ASN maupun pekerja swasta dihadapkan pada situasi yang sama, yaitu meroketnya biaya hidup selepas krisis akibat pandemi covid-19.
Perbedaan ASN dan buruh
Dalam menghadapi situasi itu, kata Mirah, ASN sedianya lebih unggul. Sebab, para pelayan negara tak perlu memutar otak untuk memenuhi kebutuhan jangka panjang seperti jaminan sosial, jaminan kesehatan, hingga uang pensiun lantaran telah masuk ke dalam fasilitas yang diberikan negara.
Beda cerita dengan pekerja swasta, utamanya yang berstatus kontrak. Mirah menyampaikan masih banyak pekerja maupun buruh swasta berstatus kontrak tak mendapatkan fasilitas seperti ASN. Apalagi, sebagian pekerja berstatus kontrak masih menerima upah minimum, bahkan tak sedikit pula menerima gaji di bawah batas minimum.
“Ini menyakiti hati rakyat, terutama pekerja buruh. Jadi, rasa dianaktirikan, dibedakan, itu terlihat sekali,” ucap dia.
Pelayanan ASN tak memuaskan
Kenaikan upah 8 persen bagi ASN juga dianggap tak layak lantaran pelayanan yang diberikan kepada publik masih jauh dari kata optimal, apalagi memuaskan.
Mirah menilai masih banyak pelayan negara yang tak disiplin dan tak melayani masyarakat dengan baik. Itu menurutnya harus dipertimbangkan sebelum pemerintah memutuskan menambah upah amtenar.
Di samping itu, jumlah ASN yang terbilang kecil terhadap total angkatan kerja nasional juga semestinya menjadi pertimbangan lain. Sebab, kontribusi kenaikan upah ASN terhadap perkeonomian tak akan signifikan.
Berbeda jika kebijakan penaikan upah yang tinggi itu diterapkan kepada pekerja maupun buruh swasta. Bertambahnya upah ASN merupakan ironi.
Pasalnya, itu berasal dari APBN yang mayoritas diperoleh dari pungutan pajak. Dengan kata lain, pekerja swasta maupun buruh yang jauh berada di bawah ASN harus banting tulang, mendapatkan upah, dan memotong upah itu untuk menyetor pajak yang akhirnya masuk ke kantong ASN.
“Penambahan itu ditarik dari APBN. Artinya itu justru mengurangi APBN. Kemudian pajak-pajak yang ada di APBN itu disedot untuk menambah gaji ASN. Ini yang luar biasa perlakuan yang sangat tidak adil kepada pekerja buruh swasta,” tutur Mirah.
(M Ilham Ramadhan)