Juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri. Foto: Medcom.id/Fachri
Candra Yuri Nuralam • 30 January 2024 09:10
Jakarta: Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan membacakan vonis praperadilan terkait penetapan tersangka terhadap mantan Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej alias Eddy. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) optimistis gugatan itu ditolak.
“Iya tentu kami optimis permohonan tersebut akan ditolak hakim,” kata juru bicara bidang penindakan KPK Ali Fikri kepada Medcom.id, Selasa, 30 Januari 2024.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK itu menjelaskan pihaknya sudah memenangkan gugatan praperadilan tersangka lain di kasus yang serupa dengan Eddy. Lembaga Antirasuah meyakini tidak ada alasan untuk hakim mengabulkan gugatan tersebut.
“Jadi, memang tidak ada alasan baru dari para pemohon praperadilan sehingga hampir semuanya di tolak hakim,” ucap Ali.
KPK juga menegaskan tidak ada kesalahan dalam penetapan tersangka terhadap Eddy. Status hukum itu diberikan karena adanya kecukupan alat bukti.
“Yang artinya semua proses yang KPK lakukan telah sesuai hukum acara pidana yang berlaku baik KUHAP maupun UU KPK itu sendiri,” ujar Ali.
Eddy mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka terhadapnya. Salah satu protes eks wamenkumham itu yakni pemberian status hukum saat mantan Ketua KPK Firli Bahuri menjadi tersangka di Polda Metro Jaya.
KPK menetapkan empat tersangka dalam kasus dugaan penerimaan suap dan gratifikasi di Kemenkumham. Yakni, Dirut PT CLM Helmut Hermawan, eks Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej, pengacara Yosi Andika Mulyadi, dan Asisten Pribadi Eddy, Yogi Arie Rukmana.
Eddy diduga menerima Rp8 miliar dari Helmut. Dana itu untuk mengurus sengketa status kepemilikan PT CLM, penghentian perkara di Bareskrim, dan dana keperluan pribadi berupa pencalonan Ketua Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia (PP Pelti).
Total uang yang diterima itu belum final. KPK bakal mengembangkan dugaan adanya aliran dana lain yang masuk kepada Eddy. Saat ini, baru Helmut yang ditahan.
Helmut disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.