Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto. Foto: MI/Ebet.
Media Indonesia • 5 December 2025 06:20
BENCANA atau bencana alam? Perdebatan perihal penggunaan terminologi itu kembali menyeruak setelah bencana hebat melanda tanah Sumatra, akhir November lalu. Tiga provinsi, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, luluh lantak dihantam banjir bandang dan tanah longsor dengan kekuatan dahsyat.
Kita sering dengan cepat menyebutnya bencana alam. Padahal, sejatinya yang namanya bencana tidak ada yang alami. Alam tidak pernah menumpahkan bencana. Mereka hanya mengirim fenomena sebagai peringatan. Kegagalan manusia merespons fenomena alam itulah yang menyebabkan terjadinya bencana.
Lo, bukankah banjir di Sumatra terjadi karena hujan berintensitas tinggi akibat siklon tropis Senyar yang tumbuh di Selat Malaka? Apakah itu namanya bukan bencana alam? Eits, nanti dulu.
Fenomena alam, termasuk cuaca ekstrem yang muncul dalam bentuk hujan deras, sesungguhnya merupakan proses alamiah yang bahkan telah berlangsung jauh sebelum manusia hadir. Apakah itu bencana? Jelas bukan. Hujan deras hanya menjadi bencana ketika ekosistem yang semestinya menyerap, menahan, dan mengalirkan air telah rusak.
| Baca juga: Identifikasi Korban Bencana Dikebut, Wakapolri: Hasil DNA Keluar Tiga Hari |
Begitu pula dengan tanah longsor, misalnya. Ia hanyalah fenomena pergerakan tanah. Namun, ia bisa berubah menjadi malapetaka ketika kemiringan lereng dibiarkan terbuka tanpa vegetasi, ketika hutan yang semestinya menjaga stabilitas tanah malah digunduli, ketika tata ruang dilanggar demi kepentingan ekonomi.
Badan PBB untuk koordinasi pengurangan risiko bencana, United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR), termasuk yang teguh menolak istilah bencana alam atau natural disaster disematkan pada setiap bencana yang terjadi di ruang alam. "Natural disaster do not exist ," kata mereka di laman resmi Undrr.org.
Kini UNDRR bahkan sudah tidak lagi menggunakan frasa 'bencana alam' dalam komunikasi dan dokumen resmi mereka. Menurut mereka, istilah yang tepat untuk mewakili fenomena alam yang membahayakan ialah bahaya alam atau natural hazard.
Apakah bahaya alam bisa 'naik status' menjadi bencana? Bisa, tapi ada prasyaratnya. Masih menurut UNDRR, bahaya alam akan berubah menjadi bencana ketika berdampak pada komunitas yang tak dilindungi secara memadai, juga pada populasi yang rentan akibat kemiskinan, pengucilan, atau kerugian sosial.

Kondisi salah satu wilayah terdampak bencana di Sumbar. Foto: Antara.
Ada rumusnya. Bencana ialah hasil dari bahaya alam ditambah paparan (exposure) dan kerentanan (vulnerability). 'Kerusakan (bencana) besar terjadi bukan semata karena alam, melainkan karena keputusan manusia yang membuat masyarakat rentan', tulis UNDRR dalam pernyataan resmi mereka.
Sangat tidak adil, memang, bila kita selalu mengambinghitamkan alam sebagai biang bencana. Kita, manusia, yang 'rajin' mempersempit sungai, menggunduli gunung, mencacah bukit dengan alat berat, mengubah peruntukan hutan menjadi perkebunan sawit. Namun, kita pula yang paling pertama menunjuk alam sebagai tertuduh setiap kali datang bencana.
Dengan meletakkan begitu saja kata 'alam' di belakang kata 'bencana', kita seperti sedang berupaya membebaskan diri dari tanggung jawab, sekaligus melempar tanggung jawab itu kepada alam. Alam tak pernah bermaksud unjuk murka, alam tidak menciptakan bencana, tapi kita selalu dengan mudahnya menarasikan setiap bencana sebagai bencana alam.
Di jagat kehidupan ini, alam sesungguhnya hanya menjalankan mekanismenya. Bencana terjadi ketika manusia gagal menjalin 'persahabatan' dengan alam sehingga tidak lagi mampu menghadapi mekanisme tersebut. Dengan kata lain, yang menciptakan bencana ialah kerentanan manusia, bukan alam itu sendiri.
| Baca juga: Korban Meninggal Banjir Bandang Aceh Jadi 326 Jiwa |
Karena itu, sepakat dengan konsep pemahaman UNDRR soal bencana alam, penggunaan istilah yang tepat sangat penting. Bukan semata secara semantik, melainkan juga penting dalam memengaruhi cara masyarakat dan negara memahami masalah.
Jika bencana dianggap sebagai sesuatu yang alami, intervensi yang dilakukan cenderung hanya reaktif. Pun, karena alam dianggap satu-satunya pihak yang bersalah, pemerintah pun bisa berpura-pura tak punya andil kesalahan. Apa risikonya kalau pemerintah tidak merasa bersalah? Akan banyak pejabat yang justru memanfaatkan duka bencana sebagai ajang untuk menaikkan citra diri.
Kita lihat saja pada bencana Sumatra. Contohnya terpampang jelas. Ada pejabat negara yang pada saat menjabat menteri kehutanan, beberapa tahun lalu, royal memberikan izin pembalakan hutan kini seolah telah berubah menjadi malaikat. Demi citra, ia bahkan rela berakting memanggul sendiri karung beras bantuan di lokasi bencana.
Hal-hal konyol seperti itu tidak akan terjadi jika bencana dipahami sebagai akibat kerusakan ekologis. Fokus intervensinya akan bergeser, tidak sekadar reaktif, tapi sudah memikirkan pencegahan jangka panjang, seperti pemulihan kawasan hutan, pengelolaan risiko lingkungan di tengah derap pembangunan yang masif, dan mitigasi bencana berbasis ekosistem.
Jadi, kembali lagi ke perdebatan, mana istilah yang paling pas, bencana atau bencana alam? Silakan pembaca memaknainya sendiri. Yang pasti banjir di Sumatra ataupun bencana-bencana lain yang terjadi di ruang alam bukanlah bencana yang terjadi begitu saja. Mereka datang sebagai konsekuensi dari keputusan-keputusan manusia yang mengabaikan keseimbangan alam.