Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro/Medcom.id/Siti
Siti Yona Hukmana • 29 July 2023 11:57
Jakarta: Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Bareskrim Polri hampir rampung menyidik kasus dugaan penistaan agama pemimpin Pondok Pesantren Al Zaytun, Panji Gumilang. Polisi tinggal mendengar keterangan Panji sebelum mengekspose perbuatan dugaan pidana tersebut.
"Secara formil kami harus memenuhi kewajiban kami untuk melaksanakan pemeriksaan dan itu dengan panggilan," kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo Puro kepada wartawan Sabtu, 29 Juli 2023.
Menurut Djuhandhani, keterangan Panji sebagai saksi dalam proses penyidikan dapat mengungkap sejauh mana perbuatan yang dilakukan. Termasuk, pembelaan Panji atas laporan-laporan yang masuk baik di Polda Jawa Barat maupun Bareskrim Polri.
"Nantinya akan kami gunakan untuk proses gelar lebih lanjut. Jadi kita tinggal tunggu seperti apa penjelasan yang bersangkutan," ungkap Djuhandhani.
Sebanyak 54 saksi telah diperiksa penyidik Dittipidum Bareskrim Polri dalam proses penyidikan. Djuhandhani merinci saksi itu di antaranya 38 saksi dan 16 saksi ahli.
"Sebanyak 16 saksi atau ahli yang sudah kami periksa yaitu meliputi ahli pidana, ahli sosiologi, ahli agama. Ahli agama juga ada ahli fiqih dan sebagainya," ujar Djuhandhani.
Djuhandhani telah mengantongi satu berita acara interview Panji Gumilang selaku terlapor. Berita acara diperoleh saat Panju memenuhi panggilan pemeriksaan pertama tahap penyelidikan pada Senin, 3 Juli 2023.
Polisi juga telah mengantongi hasil uji barang bukti di Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri dan mengantongi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Walau belum diungkap ke publik.
Bareskrim Polri mengantongi tiga unsur pidana yang diduga dilakukan Panji Gumilang setelah gelar perkara dalam tahap penyelidikan. Pertama, Pasal 156 A KUHP tentang Penistaan Agama. Kedua, Pasal 45A ayat (2) Jo 28 ayat 2 Indang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Beleid itu berbunyi setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar.
Ketiga, Pasal 14 Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang mengatur terkait berita bohong. Beleid itu menyebutkan barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya 10 tahun.