Ilustrasi. Foto: Dok Metrotvnews.com
Jakarta: Dugaan suap Rp60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan dalam kasus korupsi minyak goreng merupakan tindakan yang menghancurkan fondasi negara hukum. Keterlibatan hakim dalam pengaturan putusan adalah bentuk perampokan keadilan.
“Kalau hakim bisa dibeli oleh korporasi, apa lagi yang tersisa dari negara hukum kita? Ini bukan sekadar pelanggaran etik, ini adalah penjualan hukum kepada pemilik modal,” kata Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 14 April 2025.
Menurut Hardjuno, suap oleh korporasi jauh lebih berbahaya daripada korupsi birokrasi biasa. Bila korupsi birokrasi merampok anggaran, maka suap korporasi merampok sistem karena mereka membeli keadilan dan mengatur arah negara sesuai dengan kepentingan mereka.
“Bayangkan, negara menggelontorkan triliunan rupiah untuk subsidi minyak goreng demi rakyat. Tapi di belakang layar, korporasi justru menyuap hakim agar mereka bebas dari jerat hukum. Itu bukan hanya penghinaan terhadap negara, tapi pengkhianatan rakyat,” tegasnya.
Kejaksaan Agung sebelumnya menetapkan Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta sebagai tersangka bersama tiga orang dalam vonis untuk Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Uang suap diduga mengalir melalui pengacara dan pejabat pengadilan.
Untuk itu, ia mendesak agar pembenahan besar-besaran dilakukan di tubuh Mahkamah Agung dan sistem pengawasan hakim. Salah satu gagasannya adalah pembentukan lembaga pengawasan independen yang bisa mengaudit kekayaan, gaya hidup, dan jaringan relasi hakim.
“Kalau ada Rp60 miliar yang mengalir ke ruang sidang, berarti ada sistem yang sudah bobrok sejak lama dan dibiarkan. Kita perlu audit total, bukan hanya perkara, tapi siapa saja yang bermain di balik layar,” ujarnya.
Lebih lanjut, Hardjuno menekankan pentingnya pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset sebagai instrumen utama penindakan dan pencegahan korupsi. Menurutnya, pelaku suap seperti ini tidak cukup hanya dihukum penjara tanpa adanya perampasan aset.
“Kalau uang hasil kejahatan tidak dirampas, maka penjara cuma jadi jeda. Mereka akan tetap hidup makmur setelah bebas. UU Perampasan Aset akan memastikan bahwa hasil suap dan korupsi dikembalikan ke negara, sehingga ada efek jera juga,” tegasnya.
Selain itu, Hardjuno memberikan apresiasinya atas keberhasilan Kejaksaan Agung dalam membongkar jaringan suap di lingkungan peradilan. Apalagi, Kejagung mampu mengembangkan penyidikan dari satu kasus ke kasus lainnya secara berlapis dan terstruktur.
“Ini menunjukkan bahwa Kejaksaan bergerak sistematis, menelusuri satu per satu jejak uang dan kekuasaan yang merusak integritas hukum kita. Ini bukan kerja sembarangan. Ini pembersihan yang dimulai dari fakta, bukan sekadar retorika,” ujarnya.