Ilustrasi. Media Indonesia
Media Indonesia • 15 September 2025 06:46
PENGABAIAN oleh pemerintah yang dilakukan terus-menerus terhadap ketidakadilan yang dialami rakyat ibarat bom waktu. Pada mulanya pengabaian itu menciptakan ketidakpuasan, lalu berkembang menjadi krisis kepercayaan, hingga puncaknya memunculkan kemarahan rakyat yang teramat sangat. Pada titik kulminasi inilah 'bom' yang dibiarkan aktif selama bertahun-tahun itu akan meledak.
Peristiwa kerusuhan di Nepal adalah contoh nyata dari ilustrasi tersebut. 'Bom' kemarahan rakyat Nepal meletup pada pekan lalu sebagai ekspresi puncak kemarahan mereka terhadap gaya hidup hedon dan korupsi para elite. Rakyat marah karena ketidakadilan dan ketimpangan sosial ekonomi yang sudah sedemikian akut di negara itu seolah dianggap bukan sebagai persoalan serius oleh pemerintah.
Selama bertahun-tahun rakyat Nepal disuguhi fakta memiriskan perihal jurang antara kaum kaya dan kaum miskin yang terus menganga. Tingkat kemiskinan di negeri Himalaya itu tidak hanya tinggi, tapi juga multidimensi. Menurut Human Development Report 2024 yang dirilis UNDP, sebanyak 20,1% penduduk Nepal mengalami kemiskinan multidimensional dalam aspek pendidikan, kesehatan, dan standar hidup.
Tingkat pengangguran, terutama di kalangan anak muda, juga tinggi. Pada 2024, tingkat pengangguran generasi muda sebanyak 20,82%. Padahal hampir sepertiga penduduk Nepal adalah kaum muda yang berusia di bawah 30 tahun. Penciptaan lapangan kerja sangat minim. Itu pula yang menyebabkan ratusan ribu warga Nepal setiap tahun bermigrasi ke negara-negara lain untuk mencari kerja.
Di sisi sebaliknya, golongan kaya, termasuk para pejabat dan elite politik di negara itu justru tak malu-malu memamerkan kekayaan mereka. Dalam situasi ketidakadilan yang menimpa sebagian besar rakyat, para elite dan pejabat tersebut malah bertindak layaknya pemimpin tanpa empati. Mereka sibuk memperkaya diri dan bermanuver melanggengkan kekuasaan.
Keluarga dan anak-anak pejabat kian menyempurnakan kondisi ketiadaan empati itu. Di saat sebagian rakyat Nepal susah mencari kerja dan mencari makan, anak-anak pejabat yang dijuluki Nepokids itu tak segan melakukan flexing alias unjuk harta dan gaya hidup mewah. Ketika rakyat kebanyakan bergulat untuk memutus rantai kemiskinan, keluarga elite dengan entengnya memamerkan liburan mewah mereka ke luar negeri.
Kondisi tersebut makin diperparah dengan praktik korupsi yang kian sulit diberantas. Bila dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi 2024 yang dirilis Transparency International, Nepal hanya memperoleh skor 34 dari 100, sekaligus menempatkan negara itu di peringkat 107 negara paling korup di dunia. 'Kerabat dekat' korupsi, nepotisme, juga terus menjadi penyakit yang begitu masif menjangkiti sel-sel pengelola negara di Nepal.
Maka, ketika akumulasi persoalan itu sudah semakin menggumpal, bukan hal yang aneh jika dampak dari ledakan bom amarah rakyat Nepal, dengan dimotori oleh kaum muda generasi Z atau gen Z, menjadi amat dahsyat. Gelombang demonstrasi besar-besaran yang mereka lakukan mampu membuat kekuasaan elite goyah dan kemudian jatuh. Presiden dan Perdana Menteri Nepal pada akhirnya lengser karena kekuatan rakyat yang mereka sepelekan selama ini kiranya menyimpan kekuatan sangat besar.
Baca Juga:
Yusril Ingin Tim Independen Ungkap Aktor Politik Demo Rusuh |