Kronologi Pertempuran Surabaya 1945: Cikal Bakal Hari Pahlawan

Mobil Komando Brigadir A.W.S Mallaby. (Collection of the Netherlands Institute of Military History)

Kronologi Pertempuran Surabaya 1945: Cikal Bakal Hari Pahlawan

Riza Aslam Khaeron • 4 November 2025 11:12

Jakarta: Hari Pahlawan yang diperingati setiap 10 November di Indonesia bukanlah sekadar seremoni tahunan. Tanggal tersebut merupakan pengingat atas salah satu babak paling berdarah dan heroik dalam sejarah kemerdekaan Indonesia: Pertempuran Surabaya tahun 1945.

Pada Selasa, 4 November 2025 ini, tepat 80 tahun sejak momentum menjelang pertempuran besar tersebut, penting untuk menelusuri kembali kronologi faktual dari rangkaian kejadian yang mengarah pada pertempuran dahsyat selama November 1945.

Kota Surabaya menjadi saksi bagaimana rakyat biasa, pemuda, ulama, dan tentara Republik bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamasikan dua bulan sebelumnya.

Lantas bagaimana kronologi peristiwa tersebut? Berikut ulasannya.
 

Kedatangan Sekutu dan Hancurnya Kesepakatan Awal (25–27 Oktober 1945)


Foto: Inggris dan NICA. (Istimewa)

Pada 25 Oktober 1945, Brigade India ke-49 yang merupakan bagian dari Divisi India ke-23 mendarat di Surabaya di bawah komando Brigadir A.W.S. Mallaby.

Misi resminya adalah melucuti senjata tentara Jepang setelah kekalahan mereka di Perang Dunia Kedua dan menyelamatkan tawanan Sekutu, namun kehadiran mereka juga membawa agenda tersembunyi Belanda melalui NICA.

Pertemuan awal antara pihak Inggris dan pejabat Republik, termasuk Gubernur R.M.T.A. Surjo, menghasilkan kesepahaman bahwa Inggris tidak akan membawa tentara Belanda, akan bekerja sama menjaga ketertiban, dan hanya akan mengambil senjata dari Jepang. Bahkan, Tentara Keamanan Rakyat (TKR) tetap diizinkan memegang senjata.

Namun, malam berikutnya, kesepakatan itu runtuh. Sebuah peleton Inggris dipimpin Kapten Shaw melakukan operasi penyergapan ke penjara Kalisosok dan membebaskan Kolonel Belanda, Huiyer.

Tindakan sepihak ini memperkeruh kepercayaan. Pada 27 Oktober, Inggris menduduki fasilitas strategis seperti Pangkalan Udara Tanjung Perak dan Gedung Internatio.

Puncaknya, pukul 11.00 hari itu, pesawat Inggris menjatuhkan pamflet ultimatum yang ditandatangani Mayor Jenderal D.C. Hawthorn.

Pamflet itu memerintahkan rakyat menyerahkan semua senjata rampasan Jepang dan menyiratkan bahwa administrasi militer Inggris akan menggantikan kedaulatan Republik. Mallaby, meskipun mengaku tidak tahu menahu, menyatakan ia akan melaksanakan isi pamflet tersebut. Hal ini menghancurkan kepercayaan pihak Republik sepenuhnya.

Pukul 14.00, pertempuran meletus. Bentrokan bersenjata pertama pecah dan meluas menjadi pertempuran skala kota selama dua hari penuh.
 

Gencatan Senjata yang Rapuh dan Kematian Mallaby (28–30 Oktober 1945)


Foto: A.W.S Mallaby. (Perpustakaan Nasional RI)

Posisi pasukan Inggris pada 28 Oktober sangat kritis. Brigade 49 yang berjumlah sekitar 6.000 orang dikepung oleh 20.000 TKR dan lebih dari 120.000 warga sipil bersenjata yang menguasai tank dan artileri ringan Jepang.

Dalam suasana kacau ini, terjadi pembantaian terhadap konvoi warga sipil Eropa; sekitar 200 orang tewas mengenaskan.

Untuk menghindari kehancuran total, Inggris meminta intervensi pusat. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh. Hatta, dan Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin diterbangkan ke Surabaya pada 29 Oktober. Hasil perundingan dengan Mayor Jenderal Hawthorn menghasilkan gencatan senjata. Hawthorn mengakui eksistensi TKR dan menarik kembali pamflet ultimatum.

Namun pada 30 Oktober sore, ketika pertempuran masih berkobar di beberapa titik, Mallaby dan Kolonel L.H.O. Pugh bersama tim Biro Kontak turun ke lapangan untuk menghentikan tembak-menembak.

Di sekitar Gedung Internatio, dekat Jembatan Merah, mobil Mallaby dikepung pemuda bersenjata. Setelah terdengar rentetan tembakan dari dalam gedung, terjadi kekacauan, dan Mallaby terbunuh—kemungkinan oleh tembakan atau tusukan.

Pemerintah RI menyatakan peristiwa itu kecelakaan akibat baku tembak, bukan pembunuhan yang direncanakan.
 
Baca Juga:
Sejarah Hari Pahlawan 10 November dan Maknanya bagi Bangsa Indonesia
 

Ultimatum Inggris dan Pertempuran 10 November

Kematian Mallaby menjadi dalih Inggris untuk melancarkan aksi militer. Jenderal Sir Philip Christison menuduh kota dikuasai ekstremis. Mayor Jenderal E.C. Mansergh yang tiba menggantikan Mallaby, mengirim surat pada 7 November kepada Gubernur Soeryo dan menyusul dengan ultimatum pada 9 November.

Dalam ultimatum tersebut, Mansergh menuntut seluruh pimpinan Indonesia di Surabaya menyerahkan diri pada 10 November sebelum pukul 06.00 WIB, tanpa syarat. Semua pemuda bersenjata harus meletakkan senjata sambil mengangkat tangan dan membawa bendera putih.

Ultimatum ini dianggap penghinaan terhadap Republik.

Malam 9 November, Gubernur Soeryo melalui siaran radio menolak ultimatum tersebut. Menteri Luar Negeri Ahmad Subardjo menyatakan keputusan akhir ada di tangan rakyat Surabaya.

Komandan Pertahanan Kota Soengkono segera menyatukan kekuatan TKR, PRI, BPRI, dan laskar lain. Bung Tomo melalui Radio Pemberontakan membakar semangat rakyat: “Lebih baik hancur daripada dijajah kembali!”
 

Serangan Besar-Besaran dan Pertahanan Surabaya (10–28 November 1945)


Foto: Soekarno berbicara dengan pasukan Indonesia, 1946. (Domain Publik)

Tepat pukul 06.00, Sabtu 10 November 1945, Inggris melancarkan serangan gabungan dari darat, laut, dan udara. Serangan dimulai dengan bombardemen artileri dan serangan udara dari pesawat tempur Mosquito dan Thunderbolt.

Pasukan darat menyerbu sektor-sektor utama kota, sementara kapal perang mendukung dari laut.

Pertempuran hari pertama brutal. Inggris berhasil mengevakuasi 3.500 APWI ke zona pelabuhan, tetapi perlawanan di dalam kota sangat keras. Pada 11 November, pertempuran meningkat. TKR mengerahkan artileri ringan dan tank Jepang; Inggris membalas dengan serangan udara dan artileri berat.

Operasi di Surabaya digambarkan sebagai “a particularly exacting operation.”

Pertempuran terus berlangsung hingga akhir November. Meskipun semangat rakyat mulai surut, TKR tetap bertahan.

Pertempuran besar terakhir tercatat di Gunungsari pada 28 November 1945. Sejak itu, kota Surabaya jatuh ke tangan Inggris, meski perlawanan sporadis berlanjut di luar kota.

Pertempuran Surabaya menelan korban sangat besar: diperkirakan antara 7.000 hingga 15.000 jiwa di pihak Indonesia. Meskipun secara militer merupakan kekalahan, pertempuran ini mengguncang opini internasional dan memperkuat posisi tawar Republik dalam perjuangan diplomatik.

10 November pun ditetapkan sebagai Hari Pahlawan, mengenang semangat pengorbanan tanpa pamrih rakyat Surabaya demi kedaulatan yang masih muda.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Arga Sumantri)