IDI Tegaskan Kasus Penganiayaan Dokter Koas Tak Bisa Ditoleransi

Ilustrasi. (Dok. Istimewa)

IDI Tegaskan Kasus Penganiayaan Dokter Koas Tak Bisa Ditoleransi

Despian Nurhidayat • 15 December 2024 11:42

Jakarta: Menyoal kasus penganiayaan yang menimpa dokter koas Universitas Sriwijaya (Unsri), Pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sekaligus Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah (PDITT), dr Iqbal Mochtar, menegaskan kejadian ini merupakan hal serius karena tindakan kekerasan dilakukan terhadap seorang calon dokter yang sementara menjalani tugasnya. 

“Ada beberapa hal yang bisa kita tengarai terkait hal ini. Pertama ini adalah refleksi dari betapa kita memerlukan penghormatan dan apresiasi terhadap mahasiswa kedokteran yang sedang belajar. Selama ini koas dianggap sebagai bagian terkecil dari sebuah ekosistem pendidikan kedokteran. Oleh karena itu seringkali dianggap enteng dan dengan mudah mengalami kekerasan fisik,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu, 15 Desember 2024.

“Ini hal yang perlu dipertimbangkan dan diangkat ke depannya adalah perlunya pemberian kepastian hukum kepada semua anak didik yang sementara menjalani pendidikan termasuk Koas,” sambung Iqbal. 

Iqbal menekankan bahwa para mahasiswa koas harus diberikan perlindungan yang sama dengan dokter. Karena bagaimana pun mereka adalah bagian dari ekosistem dunia pendidikan yang melayani kesehatan kepada masyarakat. 

“Jadi tidak boleh ada strata ini koas, dokter umum, dokter residen, supervisor dan konsultan. Semua harus terlihat sama di mata hukum dan masyarakat sehingga mereka diberikan apresiasi yang baik karena sudah melayani masyarakat,” tuturnya. 
 

Baca juga: Sopir Penganiaya Dokter Koas di Palembang Ditetapkan Sebagai Tersangka

Selain itu, Iqbal menambahkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan ini menunjukkan adanya refleksi campur tangan orang tua dalam pendidikan kedokteran. 

“Karena permasalahan jam jaga kemudian orang tua datang yang berujung pada pemukulan. Padahal seharusnya penyelesaian masalah ini bisa dilakukan secara internal. Kalau misalnya ada hal terkait pengaturan jaga yang tidak sesuai mestinya bisa dibicarakan dengan bagian prodi atau unit lain dalam pendidikan tersebut,” ujar Iqbal. 

Iqbal menekankan bahwa kekerasan fisik dalam spektrum apa pun tidak dibenarkan dan diperbolehkan. Karena itu menurutnya kasus ini harus segera di bawa ke ranah hukum. 

“Walaupun mereka telah meminta maaf. Ini sebuah tindakan mencederai orang sampai bengkak dan biru matanya. Untung tidak terkena matanya. Kalau anak ini sampai buta bagaimana masa depannya. Jadi harus segera dibawa ke ranah hukum, tidak bisa diselesaikan secara damai karena ini sudah memberikan preseden ke depan. Kalau kejadian ini ditoleransi ke depan, akan semakin banyak orang yang menganiaya dokter,” tegasnya. 

Dia pun meminta pemerintah untuk bersikap tegas dalam menindaklanjuti permasalahan ini. Hal ini dikatakan dapat menjadi pembelajaran bahwa perlindungan hukum terhadap calon dokter maupun dokter harus diberikan oleh pemerintah. 

“Jangan hanya ribut kiri kanan mengurus profesi sementara hal semacam ini mereka tidak ikut campur. Mestinya hal semacam ini dibuat aturan yang jelas di setiap rumah sakit. Barang siapa yang melakukan kekerasan fisik, verbal maupun kekerasan lain kepada petugas yang sedang menjalankan tugasnya, mereka bisa dibawa ke ranah hukum. Itu harus jelas,” ucap Iqbal. 

“Di luar negeri itu sudah banyak dipasangi seperti itu. Jadi ketika kita masuk ke rumah sakit itu sudah ada peraturannya. Kalau anda melakukan kekerasan terhadap staf yang sementara menjalankan tugasnya maka anda berisiko berhadapan dengan hukum. Ini harus jelas,” jelas dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Meilikhah)