Presiden Tribunal Gaza Richard Falk. (Anadolu Agency)
Istanbul: Tribunal Gaza menyerukan intervensi bersenjata internasional untuk menghentikan apa yang mereka sebut sebagai “fase genosida paling mematikan” yang dilakukan Israel di Gaza. Tribunal memperingatkan bahwa kegagalan dunia bertindak akan menjadi “kegagalan kemanusiaan yang bersejarah.”
Dalam konferensi pers di Istanbul, Presiden Tribunal Gaza Richard Falk, profesor emeritus hukum internasional dari Universitas Princeton, AS, sekaligus mantan pelapor khusus PBB untuk hak asasi manusia di Palestina (2008–2014), mendesak komunitas global agar melewati Dewan Keamanan dan memberdayakan Majelis Umum PBB guna mengotorisasi intervensi bersenjata.
“Jika kita tidak mengambil langkah drastis sekarang, maka tindakan apa pun yang lebih moderat akan terlambat untuk menyelamatkan mereka yang masih hidup, yang sudah menderita trauma akibat genosida lebih dari 22 bulan,” ujar Falk, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Selasa, 19 Agustus 2025.
Menurut Falk, dunia kini menyaksikan genosida secara terang-terangan, bahkan lebih transparan daripada Holocaust, sehingga “menantang kemanusiaan kita.” Falk juga menyoroti kelemahan demokrasi Barat yang ia sebut sebagai “perilaku terlibat,” seraya menekankan adanya pergeseran opini publik global.
“Kami berusaha menyentuh hati nurani semua orang dan mendorong lahirnya aktivisme yang mampu mendorong perubahan kebijakan, khususnya embargo senjata dan sanksi, sebagaimana solidaritas anti-apartheid yang terbukti efektif,” kata Falk.
'Bukan hanya untuk Gaza, tetapi juga bagi dunia'
Dalam pernyataan darurat bertajuk “Saatnya Bertindak: Mobilisasi Melawan Rencana Penaklukan Israel atas Kota Gaza dan Gaza Tengah” yang diterima Anadolu, Tribunal Gaza menyoroti keputusan Kabinet Keamanan Israel pada 7 Agustus untuk melanjutkan operasi penaklukan Kota Gaza, meski ditolak sebagian petinggi militer. Kawasan itu kini menampung hampir satu juta pengungsi Palestina.
Falk menegaskan, eskalasi ini menuntut negara-negara anggota
PBB segera mengambil langkah tegas, dengan merujuk pada instrumen hukum internasional seperti Resolusi Uniting for Peace (1950) dan doktrin Responsibility to Protect (R2P) dari KTT PBB 2005.
Merespons seruan utusan Palestina untuk PBB, Riyad Mansour, mengenai pengerahan pasukan perlindungan internasional, Tribunal menegaskan: “Kami berdiri bersama mereka yang percaya bahwa diam berarti ikut terlibat dalam genosida.”
Falk juga mengkritik upaya membungkam suara kebenaran, mulai dari sanksi terhadap pelapor HAM PBB hingga pembunuhan jurnalis, termasuk Assas al-Shafir dan reporter Al Jazeera pada 10 Agustus, yang menurutnya merupakan serangan disengaja untuk menutup akses publik terhadap fakta lapangan.
“Peran Tribunal Gaza adalah memperkuat kebenaran. Itu sangat penting, bukan hanya bagi Gaza, tapi juga bagi masa depan dunia,” tegas Falk, seraya menyebut pihaknya akan membawa isu ini ke Sidang Umum PBB bulan depan.
'Percaya pada rakyat, bukan pemerintah'
Menjawab pertanyaan Anadolu soal realistis tidaknya pengiriman pasukan perlindungan PBB, Falk mengakui tantangan besar yang dihadapi. Menurutnya, meski terlihat mustahil, kondisi Gaza sudah terlalu parah sehingga hanya langkah-langkah radikal yang berpeluang menyelamatkan warga.
“Realisme politik bisa diubah oleh rakyat. Kami percaya pada kekuatan masyarakat, bukan pada pemerintah,” ujarnya, merujuk pada pengalaman gerakan anti-perang Vietnam yang berhasil mengubah kebijakan AS.
“Situasi menyedihkan bagi seluruh warga Gaza”
Dalam wawancara eksklusif, Falk memuji sikap tegas Turki yang konsisten mengutuk genosida Israel di Gaza. Ia menegaskan, misi Tribunal Gaza bukan hanya mendokumentasikan kejahatan, tetapi juga menggerakkan solidaritas global.
Sebagai “juri hati nurani,” tribunal ini tidak terikat pada kerangka hukum formal, melainkan berfokus pada keadilan substantif. Menurut Falk, Tribunal juga ingin melegitimasi aksi solidaritas global agar bisa menekan pemerintah dunia menghentikan genosida, dengan memanfaatkan instrumen seperti Resolusi Perdamaian PBB maupun prinsip R2P.
“Kondisi Gaza memburuk setiap hari. Tanpa respons darurat, bahkan langkah yang bermaksud baik pun akan terlambat,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa Majelis Umum PBB masih bisa menjadi jalur efektif untuk menggerakkan intervensi segera.
Apa itu Tribunal Gaza?
Tribunal Gaza dibentuk di London pada November 2024 oleh hampir 100 akademisi, intelektual, aktivis HAM, dan tokoh masyarakat sipil, sebagai bentuk kekecewaan atas kegagalan komunitas internasional menegakkan hukum internasional di Gaza.
Sejak berdiri, Tribunal telah menggelar beberapa sesi, termasuk sidang terbuka di Sarajevo pada Mei lalu yang menghasilkan Deklarasi Sarajevo. Dokumen itu menuduh Israel melakukan genosida, kejahatan perang, dan praktik apartheid. Sidang final dijadwalkan berlangsung Oktober mendatang di Istanbul, di mana “Juri Hati Nurani” akan memberikan putusan moral berdasarkan bukti dan kesaksian yang terkumpul.
Konteks ini terjadi di tengah agresi Israel yang sejak Oktober 2023 telah menewaskan lebih dari 62.000 warga Palestina, menghancurkan sebagian besar Gaza, dan mendorong warganya ke ambang kelaparan.
Pada November lalu, Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant atas dugaan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Selain itu, Israel juga tengah menghadapi gugatan genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). (
Muhammad Fauzan)
Baca juga:
Khawatir Serangan Israel, Sebagian Warga Palestina Mulai Tinggalkan Kota Gaza