Anggota Komisi II DPR, Ujang Bey. Foto: Dok. NasDem.
Fachri Audhia Hafiez • 17 November 2025 15:01
Jakarta: Anggota Komisi II DPR, Ujang Bey, menyoroti maraknya praktik mafia tanah di Indonesia yang telah menjadi semacam sistem kolaboratif antara oknum pertanahan, perangkat desa, dan korporasi. Bey menyatakan bahwa akar masalah pertanahan kerap bermula dari jaringan tertutup yang mengeksploitasi kelemahan sistem hukum dan birokrasi.
“Biasanya mereka (mafia tanah) mencari titik lemah aturan pertanahan, kemudian menyerang melalui gugatan pengadilan,” ucap Bey melalui keterangan tertulis, Senin, 17 November 2025.
Legislator
NasDem itu menambahkan bahwa dukungan finansial kuat dari pihak korporasi memungkinkan mafia tanah melakukan perlawanan sengketa di pengadilan dengan lebih mudah.
Data menunjukkan bahwa praktik mafia tanah di Indonesia sangat kompleks. Berdasarkan laporan Kompas, sekitar 48.000 kasus mafia tanah tercatat di seluruh negeri. Bahkan,
Menteri ATR/BPN menyebut bahwa 60% konflik pertanahan melibatkan oknum internal BPN.
Modus operandi yang digunakan mencakup pemalsuan dokumen, manipulasi sertifikat, kolusi dengan oknum desa dan notaris, serta penggunaan gugatan pengadilan sebagai alat tekanan. Dari sisi korporasi, investasi besar dan dukungan finansial menjadi senjata ampuh bagi mafia tanah untuk melawan hak rakyat kecil.
Bey menekankan bahwa mafia tanah tidak hanya merugikan individu pemilik tanah, tetapi juga berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi negara dan menggerus kepercayaan publik terhadap sistem pertanahan.
“Kalau oknum birokrasi sudah bagian dari jaringan mafia, ini bukan sekadar kejahatan sipil, tapi kejahatan sistemik,” kata Ujang.
Menurut catatan resmi Kementerian ATR/BPN, upaya pemberantasan mafia tanah telah menghasilkan hasil. Pada tahun 2023, kementerian mengungkap 86 kasus mafia tanah dengan potensi kerugian negara sebesar Rp13,2 triliun. Bersama Polri dan Kejaksaan, pemerintah terus memperkuat sinergi untuk menindak oknum mafia lewat kerja sama hukum lintas lembaga.
Anggota Komisi II DPR, Ujang Bey. Foto: Dok. NasDem.
Meski sudah ada upaya pemberantasan mafia tanah, menurut Bey, upaya-upaya itu belum cukup jika jaringan lokal, terutama di tingkat desa tidak dibongkar secara sistematis.
Ia mengusulkan agar Komisi II DPR mendorong pembenahan data pertanahan desa yang terintegrasi dan transparan, sekaligus memperkuat kontrol terhadap pegawai BPN yang rawan disusupi mafia.
“Pemberantasan mafia tanah harus dilakukan dari akar: reformasi birokrasi BPN, sistem pertanahan di desa, dan transparansi korporasi yang membeli tanah,” tegas Bey.
Jika tak dikelola serius, ia khawatir bahwa praktik mafia akan terus menjadi sumber konflik sosial dan potensi kerugian negara yang besar.
Sebagai langkah konkret, Bey meminta Komisi II DPR untuk menginisiasi inisiatif legislasi baru atau revisi aturan pertanahan, agar memperkuat kerangka hukum pencegahan kolusi antara oknum pertanahan, aparat desa, dan perusahaan.
Dengan penguatan regulasi dan sinergi antar-lembaga, Bey berharap pemberantasan mafia tanah bisa lebih efektif, tidak hanya mengejar kasus satu per satu, tetapi menutup celah struktural yang selama ini dimanfaatkan pelaku untuk merampas hak rakyat kecil.