Rumah Laksamana Maeda. (Istimewa)
Riza Aslam Khaeron • 8 August 2025 16:07
Jakarta: Menjelang Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2025, sorotan publik kembali mengarah pada sebuah rumah bercat putih di kawasan elite Menteng, Jakarta. Dibangun pada awal abad ke-20 dengan sentuhan arsitektur art deco, bangunan ini dahulu merupakan kediaman dinas Laksamana Muda Tadashi Maeda, perwira tinggi Angkatan Laut Kekaisaran Jepang.
Sosok Maeda dikenal sebagai salah satu figur militer Jepang yang memiliki simpati mendalam terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Di masa pendudukan Jepang, status rumah Maeda memberikan imunitas dari razia Kempetai, menjadikannya lokasi strategis untuk pertemuan penting tanpa gangguan militer. Pertemuan yang berlangsung di rumah ini pada malam 16 hingga dini hari 17 Agustus 1945 menjadi salah satu momen penentu sejarah.
Di ruang makan lantai satu, Soekarno, Hatta, dan Soebardjo bersama sejumlah tokoh bangsa merumuskan naskah Proklamasi Kemerdekaan dengan penuh kehati-hatian di tengah situasi politik yang genting.
Berikut kisah lengkap yang merekam perjalanan rumah Laksamana Maeda, dari saksi bisu perumusan teks proklamasi hingga diresmikan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Latar Belakang Rumah Laksamana Maeda
Foto: Laksamana Maeda. (Wikimedia Commons)
Melansir Indonesia.go.id, Bangunan bercat putih bergaya art deco di jantung Menteng ini berdiri di atas lahan seluas 3.914 m² dengan luas bangunan 1.138 m². Dibangun pada 1920 oleh arsitek Belanda J.F.L. Blankenberg, rumah ini awalnya dimiliki PT Asuransi Jiwasraya sebelum pada 1931 ditempati oleh Konsulat Jenderal Inggris, Sir Henry Fitzmaurice.
Pada masa itu, rumah ini menjadi salah satu pusat kegiatan diplomatik di Hindia Belanda, bahkan tercatat pernah menjadi lokasi penanaman pohon peringatan penobatan Raja George VI pada 1937, sebuah tradisi simbolis bagi warga Inggris yang tidak dapat menghadiri pelantikan di London.
Plakat peringatan tersebut sempat hilang dan baru ditemukan pecah menjadi lima bagian pada 2017 di antara akar pohon tua di halaman rumah, kini dipajang di Museum Perumusan Naskah Proklamasi.
Ketika Jepang menguasai Indonesia pada 1942, rumah ini dialihfungsikan menjadi kediaman dinas Laksamana Muda Tadashi Maeda, yang lahir di Kagoshima, Jepang, pada 3 Maret 1898. Maeda menjabat kepala Kantor Penghubung (
Kaigun Bukanfu) yang mengoordinasikan hubungan antara Angkatan Laut Jepang (
Kaigun) dan Angkatan Darat Jepang (
Rikugun) di Indonesia.
Melalui bantuan Aratame Naohisa, mantan Konsul Jenderal Jepang di Batavia, Maeda mendapatkan rumah ini sebagai kantor sekaligus tempat tinggal.
Kantor Penghubung mulai beroperasi pada Oktober 1942 dengan empat departemen, sebagian besar diisi warga sipil. Salah satunya dipimpin Ahmad Soebardjo, yang hubungannya dengan Maeda telah terjalin sejak awal 1930-an di Den Haag dan Berlin.
Letaknya yang strategis di kawasan elite Menteng, berdekatan dengan pusat pemerintahan dan kedutaan asing, memberi keuntungan ganda: mudahnya koordinasi diplomatik dan perlindungan dari razia Kempetai berkat status kedinasan Maeda.
Lingkungan rumah yang luas, taman asri, dan ruang-ruang lega menjadikannya tempat ideal untuk diskusi penting tokoh pergerakan nasionalis, terutama di masa-masa genting menjelang proklamasi.
Malam Menjelang Proklamasi
Melansir Indonesia.go.id, setelah bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945, Jepang akhirnya menyerah kepada sekutu menjanjikan
kemerdekaan Indonesia. Soekarno, Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat bertemu Marsekal Hisaichi Terauchi di Dalat, Vietnam, pada 12 Agustus 1945, yang menyampaikan bahwa kemerdekaan akan diberikan pada 24 Agustus.
Namun kekalahan Jepang pada 15 Agustus memicu desakan golongan muda agar proklamasi dilakukan segera.
Pada 16 Agustus dini hari, Soekarno–Hatta dibawa ke Rengasdengklok oleh kelompok pemuda. Setelah negosiasi dan jaminan dari Soebardjo, keduanya kembali ke Jakarta. Awalnya Rapat yang direncanakan di Hotel Des Indes batal karena tempat sudah tidak tersedia, sehingga Soebardjo memohon izin kepada Maeda untuk menggunakan kediamannya sebagai lokasi perumusan naskah proklamasi.
Maeda yang simpatisan terhadap gerakan
kemerdekaan Indonesia mengizinkan penggunaan ruang makan di lantai satu—ruangan yang aman dari razia Kempetai karena status kedinasannya. Ia sendiri memilih beristirahat di lantai dua sekitar pukul 03.00 WIB, setelah berpesan kepada penerjemah Sunkichiro Miyoshi, ajudan Shigetada Nishijima, dan Tomegoro Yoshizumi untuk mendampingi proses perumusan.
Melansir Indonesia.go.id yang mengutip Dorothea Rini Yunarti dalam buku
BPUPKI, PPKI, Proklamasi Kemerdekaan RI, Asisten rumah tangga Satsuki Mishima, satu-satunya perempuan malam itu, menyiapkan sahur berupa nasi goreng, telur dadar, dan ikan sarden untuk para peserta rapat yang sedang berpuasa Ramadan.
Konsep naskah ditulis tangan oleh Soekarno berdasarkan masukan Hatta dan Soebardjo, sementara Sukarni, Sudiro, dan BM Diah menunggu di luar ruangan. Setelah disepakati, naskah harus diketik.
Karena mesin ketik di rumah Maeda hanya memiliki huruf hiragana bukan huruf latin, Mishima meminjam mesin ketik “Oriental” buatan Jerman dari kantor Kriegsmarine di Gedung KPM, Koningsplein Oost. Sayuti Melik kemudian mengetik naskah final untuk ditandatangani.
Proklamasi dan Warisan Sejarah
Foto: Museum Perumusan Naskah Proklamasi. (DOK website munasprok.go.id via Medcom.id)
Sukarni mengusulkan pembacaan proklamasi di Lapangan Ikada, namun Soekarno menolak demi menghindari potensi bentrokan, dan memilih halaman rumahnya di Pegangsaan Timur No. 56. Menjelang subuh, Hatta meminta wartawan memperbanyak teks proklamasi dan Adam Malik menugaskan jurnalis Soegiarin menyusup ke ruang morse yang dijaga ketat tentara Jepang untuk mengabarkan berita
kemerdekaan ke seluruh dunia.
Pada waktu yang hampir bersamaan, para pemuda yang telah mengetahui rampungnya naskah proklamasi segera bergerak memperbanyak dan mendistribusikan salinannya ke berbagai penjuru kota. Mereka juga menata persiapan untuk pelaksanaan upacara di halaman depan rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur No. 56.
Saat hari bersejarah itu tiba, bendera merah putih hasil jahitan Fatmawati, istri Soekarno, yang dibuat dari kain sederhana namun sarat makna, dikibarkan dengan gagah di atas tiang bambu.
Pada pukul 10.00 WIB, Jumat 17 Agustus 1945, proklamasi dibacakan di Pegangsaan Timur No. 56. Rumah Maeda, yang menjadi saksi bisu penyusunan teks, ditetapkan sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi pada 24 November 1984 dan dikukuhkan melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0476/1992.
Atas jasanya, Maeda dianugerahi Bintang Jasa Nararya pada 17 Agustus 1977, beberapa bulan sebelum wafat pada 13 Desember 1977.
Delapan dekade setelah peristiwa bersejarah itu, rumah Laksamana Maeda tetap berdiri sebagai pengingat betapa rapuh namun teguhnya proses lahirnya
kemerdekaan Indonesia. Dari bangunan yang semula berfungsi sebagai kediaman dinas seorang perwira Jepang, tempat ini berubah menjadi ruang sakral yang melahirkan teks kemerdekaan bangsa.
Kini, sebagai Museum Perumusan Naskah Proklamasi, rumah tersebut bukan sekadar menyimpan artefak, tetapi juga menuturkan kisah keberanian, diplomasi, dan persatuan yang melampaui sekat penjajahan.