Operasi Militer Israel di Tepi Barat Picu Krisis Pengungsian Massal

Operasi militer Israel di Tepi Barat telah memaksa lebih dari 40.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka sejak Januari 2025. (Anadolu Agency)

Operasi Militer Israel di Tepi Barat Picu Krisis Pengungsian Massal

Willy Haryono • 16 April 2025 19:12

Tulkarem: Operasi militer Israel di Tepi Barat telah memaksa lebih dari 40.000 warga Palestina meninggalkan rumah mereka sejak Januari 2025, menciptakan gelombang pengungsian terbesar di wilayah ini dalam beberapa dekade terakhir.

Seorang ibu berusia 52 tahun dari kamp Nur Shams menceritakan bagaimana keluarganya hanya diberi waktu tujuh menit untuk mengemas barang sebelum diusir, sementara banyak rumah warga dihancurkan oleh pasukan Israel.

Kondisi pengungsi semakin memprihatinkan dengan berakhirnya bulan Ramadan yang biasanya menjadi masa peningkatan bantuan masyarakat.

“Kami tidak tahu harus pergi ke mana,” ujar seorang nenek pengungsi yang kini tinggal di aula pernikahan yang akan segera dikosongkan untuk acara pernikahan, dikutip dari Asharq Al-Awsat, Rabu, 16 April 2025.

Pernyataan tersebut mencerminkan dilema ribuan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal. Otoritas Palestina mengaku kewalahan menangani krisis ini akibat keterbatasan dana dan fasilitas.

Tempat berlindung yang semakin menipis

Abdallah Kmeil, Gubernur Tulkarem, mengungkapkan keterbatasan sumber daya Otoritas Palestina dalam menangani krisis ini.

“Kami kekurangan dana dan fasilitas. Sekolah tidak bisa terus digunakan sebagai tempat penampungan karena aktivitas belajar harus berjalan,” ujarnya. Rencana penyediaan kontainer prefabrikasi untuk 20.000 pengungsi masih belum jelas realisasinya.

Situasi semakin parah setelah berakhirnya bulan Ramadan, ketika sumbangan masyarakat berkurang drastis. Iman Basher, 64 tahun, seorang pengungsi yang kehilangan tabungan seumur hidup senilai $2.000 atau sekitar Rp32 juta akibat penggerebekan. Ia kini harus tidur di lantai gedung yang penuh sesak bersama puluhan pengungsi lainnya.

Dampak ekonomi dan kesehatan yang memprihatinkan

Operasi militer Israel tidak hanya menyebabkan pengungsian massal tetapi juga merusak mata pencaharian. Puluhan ribu buruh Palestina kehilangan pekerjaan di Israel, sementara petani seperti Iman Basher tidak bisa mengakses lahan mereka.

Dokter Lintas Batas melaporkan kondisi kesehatan pengungsi yang mengkhawatirkan. “Kami kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti obat-obatan dan perawatan kesehatan akibat pembatasan Israel,” ujar Nicholas Papachrysostomou, koordinator darurat organisasi tersebut.

UNRWA hanya mampu memberikan bantuan tunai $265 atau sekitar Rp4,4 juta per bulan untuk 30.000 pengungsi paling rentan dan itu pun hanya untuk tiga bulan ke depan.

Respons dan masa depan yang tidak pasti

Militer Israel membenarkan operasi mereka sebagai upaya memberantas militan, namun mengakui adanya investigasi atas tuduhan pencurian oleh pasukan mereka.

Sementara itu, warga Palestina seperti Isam Sadooq, yang menampung 60 pengungsi di pusat pemuda Tulkarem, khawatir akan masa depan. “Jika kami harus mengosongkan tempat ini, ke mana mereka akan pergi? Ke jalanan?” ujar Sadooq.

Krisis ini semakin memperdalam ketegangan di Tepi Barat, dengan banyak pengungsi menolak solusi sementara seperti kontainer prefabrikasi karena khawatir akan kehilangan hak kembali ke rumah mereka.

Tanpa penyelesaian politik, pengungsian massal ini berpotensi menjadi bencana kemanusiaan berkepanjangan. (Muhammad Adyatma Damardjati)

Baca juga:  (Opini) Rencana Evakuasi 1.000 Warga Gaza: Niat Baik yang Butuh Strategi Matang

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Willy Haryono)