Podium Media Indonesia: Omon-Omon Dulu, Maaf Kemudian

Dewan Redaksi Media Group Gaudensius Suhardi. (Ebet)

Podium Media Indonesia: Omon-Omon Dulu, Maaf Kemudian

Media Indonesia • 15 September 2025 06:53

ADA tiga kata mengandung sihir dalam membangun relasi, yaitu tolong, terima kasih, dan maaf. Kata maaf perlahan-lahan kehilangan daya magisnya ketika sering diucapkan para pejabat.

Disebut kehilangan daya magis karena sudah terlalu sering pejabat meminta maaf atas ucapan dan tindakan mereka. Saking seringnya, masyarakat juga sudah bosan mendengarkan permintaan maaf itu.

Apalagi, maaf yang diucapkan pejabat sekadar kata-kata manis, basa-basi, untuk tujuan pencitraan. Padahal, kata Marsha L Wagner, ungkapan meminta maaf antara lain berfungsi memulihkan keharmonisan sosial.

Keharmonisan sosial belakangan ini terkoyak gara-gara lisan dan laku pejabat yang tidak berempati kepada masyarakat. Pejabat sudah lupa dengan peribahasa ‘sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna’. Artinya, pikirkan lisan dan laku secara matang sebelum diucapkan atau dilakukan. Akal mendahului lisan dan laku.

Itu nasihat bijak bestari agar pejabat mampu menjaga mulut dan lidah sehingga terhindar dari malapetaka. Menjaga lisan dan laku sangat penting bagi seorang pejabat pada era kemajuan teknologi komunikasi. Kecanggihan teknologi digital memungkinkan masyarakat merekam dengan ponsel pintar setiap ucapan dan tindakan pejabat.

Kiranya pejabat senantiasa mengasah kemampuan komunikasi dengan publik secara cerdas, bijaksana, dan memberikan pengharapan. Presiden Prabowo Subianto lebih dari sekali meminta para pejabat memperbaiki komunikasi publik. Permintaan Prabowo itu belum sepenuhnya dipenuhi.

Pejabat jangan merasa benar sendiri, apalagi menantang rakyat. Ia dituntut berempati pada masyarakat yang tengah mengalami persoalan serius terkait dengan asap dapur. Fakta menunjukkan kesalahan komunikasi memantik letupan menjadi gejolak.

Bisa jadi para pejabat itu hanya ingin bercanda meski candaan mereka tidak lucu. Boleh jadi pula pejabat bermain gaple melepas kepenatan. Candaan atau main gaple di ruang terbuka direkam ponsel pintar warga kemudian diunggah ke media sosial menjadi viral. Muncul narasi pejabat tidak berempati.

Ucapan pejabat kerap lebih berbahaya ketimbang kebijakan mereka. Kesalahan kata yang diucapkan ibarat percikan api di tumpukan jerami kering langsung terbakar. Demonstrasi yang meluas belakangan ini justru dipicu kata-kata nirempati.
 

Baca Juga: 

Istri Pejabat Kemenag Diduga Berhaji Pakai Fasilitas Negara


Meski demikian, kita tetap memberikan apresiasi kepada pejabat yang meminta maaf atas laku dan lisan mereka. Kasus laku yang berujung permintaan maaf, misalnya penggunaan kop surat kementerian/lembaga untuk kepentingan pribadi. Ada juga menteri yang ketahuan bermain domino bersama mantan tersangka pembalakan liar.

Terus terang permintaan maaf terkait dengan tutur dan laku sudah banyak dilakukan pejabat negara di jajaran eksekutif dan legislatif. Jangan-jangan pejabat terinspirasi celetukan anak muda di medsos lebih baik minta maaf daripada minta izin, lebih baik minta maaf ketimbang menjaga mulut.

Minggu lalu dalam sehari, tepatnya 9 September 2025, dua menteri menyampaikan permintaan maaf. Mereka minta maaf di Istana Negara. Pangkal soalnya ialah lisan yang terus menjauhi perbuatan sehingga integritas terusik.

Integritas dan kepribadian yang baik menjadi salah satu syarat menjadi menteri. Syarat itu tercantum dalam Pasal 22 UU 39/2008, terakhir diubah dengan UU 61/2024, tentang Kementerian Negara. Syarat itu masih jauh panggang dari api.

Faktor integritas sangat dijunjung di belahan lain dunia ini seperti Jepang. Menteri Pertanian Jepang Taku Eto, misalnya, mengundurkan diri setelah pernyataannya tentang ‘hadiah beras’ memantik kontroversi.

“Saya membuat pernyataan yang sangat tidak pantas pada saat rakyat sedang menderita karena harga beras yang melonjak. Tidak pantas bagi saya untuk tetap menjabat,” kata Eto setelah menyerahkan pengunduran dirinya di Kantor Perdana Menteri di Tokyo, Jepang, pada 21 Mei 2025.

Eto mundur dari jabatannya karena mengeluarkan pernyataan yang tidak pantas pada saat rakyatnya sedang menderita. Lain Jepang lain pula Indonesia yang semua bisa diselesaikan secara adat, yaitu meminta maaf. Bangsa ini bisa disebut sebagai bangsa pemaaf dan pelupa, mudah memaafkan mudah pula melupakannya.

Angkat dua jempol untuk Rahayu Saraswati. Ia patut diteladani karena berani berbuat, berani pula bertanggung jawab. Ia mengundurkan diri sebagai anggota DPR pada 10 September 2025. Keputusan pengunduran dirinya itu diunggah dalam video di akun Instagram pribadinya.

Sara, begitu ia disapa, menjelaskan alasan pengunduran dirinya akibat ucapan kontroversialnya dalam sebuah siniar di media nasional pada Februari 2025. Potongan siniar itu viral dan mendapat kritik dari warganet pada Agustus 2025. Sara pun memilih mundur karena potongan siniar itu dinilai menyakiti hati masyarakat.

Bangsa ini sangat merindukan kehadiran pejabat seperti Bung Hatta yang menjadi simbol satunya kata dengan perbuatan. Jangan sampai terjadi, seperti yang ditulis Bung Hatta dalam Demokrasi Kita, 'Seorang menteri ditugaskan partainya untuk melakukan tindakan-tindakan yang memberi keuntungan bagi partainya'.

Tiba saatnya para pejabat negara menampilkan diri dan berperan sebagai negarawan, jangan keasyikan membenamkan diri menjadi politikus-politikus. Pejabat yang politikus sering lidahnya tergelincir, omon-omon dulu minta maaf kemudian.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Achmad Zulfikar Fazli)