Ilustrasi media sosial. Medcom.id
Media Indonesia • 26 June 2023 18:57
Jakarta: Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi menegaskan Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus segera mengatur aturan iklan politik di media sosial. Pengelolaan kampanye di media sosial dinilai belum menjadi perhatian serius bagi KPU.
Menurut dia, aturan kampanye di media sosial penting untuk meminimalkan penyebaran informasi yang menyesatkan. Selain itu, dapat melindungi masyarakat dari propaganda politik yang tidak sehat.
“Kampanye di media sosial kalau diperhatikan di PKPU kampanye yang berubah apa sih? Dari dulu 2019 diatur 10 akun, sekarang 20 akun, sebatas di situ saja ternyata perspektifnya,” ujar Amalia, Jakarta, Senin, 26 Juni 2023.
Amalia mengatakan KPU tidak mampu menangkap tantangan sesungguhnya terkait kecurangan dalam kampanye di media sosial yang digunakan peserta pemilu. Melalui data Facebook Ads Library, Amalia menyebut ada dana miliaran rupiah dari peserta pemilu yang beriklan politik hanya di platform Facebook.
“Belum lagi sewa buzzer untuk manipulasi opini publik,” kata dia.
Dia mencontohkan Pemilu Thailand terdapat kode etik kampanye yang mengatur komitmen peserta pemilu agar partai tidak menyebarkan disinformasi, hasutan kebencian, tidak manipulasi opini publik sebagai strategi pemenangan, hingga tidak menyebarkan narasi yang mendiskriminasi kelompok rentan atau tidak melakukan kekerasan verbal.
Data Facebook adds report, dari pagework 2024 sudah mengeluarkan uang untuk iklan kampanye lebih dari Rp2,7 miliar. Itu data 90 hari terakhir dan partai politik sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu.
“Itu iklan politik di luar masa kampanye gitu, terus pages Prabowo sudah Rp1,7 miliar, PSI Rp815 juta, Ganjar fans Rp87 juta,” ucap dia.
Melihat fakta tersebut, Amalia mendesak KPU segera menyusun aturan pedoman etika atau code of conduct kampanye di media sosial dalam Pemilu 2024.
“Code of conduct ini bisa disusun bisa peserta pemilu itu sendiri, bisa disusun penyelenggara pemilu, bisa disusun oleh masyarakat sipil dan pakar,” tutur dia.
(Yakub Pryatama Wijayaatmaja)