Sesi foto bersama di pertemuan iklim COP30 di Belem, Brasil, Jumat, 7 November 2025. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 8 November 2025 12:39
Belem: Para pemimpin dunia berkumpul di Brasil untuk Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) COP30 pekan ini, menandai 30 tahun sejak pertemuan iklim tahunan pertama digelar. Namun, data menunjukkan situasi yang kian mengkhawatirkan. Emisi gas rumah kaca meningkat sepertiga sejak konferensi pertama, konsumsi bahan bakar fosil terus naik, dan suhu global diperkirakan melampaui ambang batas yang dapat memicu kerusakan besar bagi bumi.
“Iya, ada kemajuan, tapi belum cukup untuk menjamin kehidupan di bumi,” kata Juan Carlos Monterrey, perwakilan khusus iklim Panama, dikutip dari Channel News Asia, Jumat, 7 November 2025.
COP30 yang berlangsung pada 10–21 November di Kota Belem ini memunculkan pertanyaan besar: apakah diplomasi iklim global telah gagal? Kepala Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC), Simon Stiell, menegaskan bahwa pertemuan tahunan ini memang mencatat kemajuan signifikan, namun belum cukup cepat. Menurut data, emisi global naik 34 persen sejak 1995—angka yang masih jauh dari target stabilitas iklim.
Utusan Iklim AS, John Kerry, menambahkan, “Kita masih bisa menang dalam pertarungan ini, jika kita benar-benar menepati janji-janji yang telah dibuat.”
Laporan terbaru Lembaga Sumber Daya Dunia (WRI) menyebutkan bahwa target pengurangan emisi untuk 2035 belum cukup untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5°C seperti yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Dalam beberapa tahun terakhir, suhu global bahkan telah melampaui ambang itu, dengan 2023 dan 2024 tercatat sebagai dua tahun terpanas dalam sejarah.
“Apa pun di atas 1,5 derajat akan menjadi bencana bagi negara-negara pulau kecil,” ujar James Fletcher, utusan iklim Komunitas Karibia (CARICOM).
Tingginya konsumsi bahan bakar fosil dipicu pertumbuhan ekonomi dan melonjaknya kebutuhan energi untuk pusat data kecerdasan buatan (AI). Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan permintaan batu bara akan tetap tinggi hingga 2027, meski penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin juga meningkat pesat.
Investasi global dalam energi bersih mencapai 2,2 triliun dolar AS tahun lalu, melampaui investasi di sektor bahan bakar fosil. “Kita tak pernah membayangkan penurunan harga kendaraan listrik dan energi terbarukan bisa secepat ini,” kata Jennifer Morgan, mantan utusan iklim Jerman.
Meski begitu, pertumbuhan energi hijau belum cukup menggantikan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Di Amerika Serikat, Presiden Donald Trump justru memangkas subsidi energi terbarukan dan membuka lebih banyak lahan untuk penambangan.
Perjanjian Paris sendiri tetap bertahan bahkan setelah AS sempat keluar di bawah pemerintahan Trump. Mantan pejabat PBB Christiana Figueres menilai arah transisi kini lebih banyak digerakkan oleh sektor swasta dan industri dibanding pemerintah.
Sementara itu, mantan presiden COP20, Manuel Pulgar Vidal, menegaskan bahwa proses multilateral tetap menjadi satu-satunya jalan. “Tidak ada alternatif lain,” ujarnya. (Keysa Qanita)
Baca juga: Komitmen Iklim Indonesia di COP30 Dapat Dukungan Internasional