Generasi Muda Diberi Pelatihan Menghadapi Tantangan Krisis Iklim

Pelatihan terkait krisis iklim/Istimewa

Generasi Muda Diberi Pelatihan Menghadapi Tantangan Krisis Iklim

M Sholahadhin Azhar • 5 July 2025 12:21

Jakarta: Generasi muda Indonesia mesti memahami tantangan terkait perubahan iklim. Atas dasar tersebut, pelatihan perlu diberikan supaya mereka semakin waspada. Tak terkecuali bagi generasi muda di daerah.

"Agar para partisipan yang hadir dapat tumbuh menjadi pemimpin di Ambon bahkan di tingkat Maluku dalam menghadapi tantangan krisis iklim," kata Co-Founder dan Executive Director Yayasan Partisipasi Muda (YPM), Neildeva Despendya Putri, dalam keterangan tertulis, Sabtu, 5 Juli 2025.

Hal tersebut diungkap Neildeva saat memberi pelatihan “Academia Politica”. Program kali ini mengangkat tema “Dampak Perubahan Iklim Ambon: Nelayan Sulit Dapat Ikan, Kita Sulit Dapat Makan”. Pelatihan diberikan pada 64 pelajar sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK), hingga mahasiswa. 
 

Baca: Bijak Menyikapi Anomali Iklim

Menurut Neildeva, penting bagi semua pihak untuk benar-benar memahami isu lingkungan. Tanpa pemahaman yang kuat, upaya menjaga Ambon dan Maluku dari kerusakan lingkungan sulit terwujud.

"Keterkaitan antara perubahan iklim dan politik membuka dengan pertanyaan reflektif: “Kenapa anak muda harus melek politik?” Jawabannya: karena setiap keputusan politik berdampak langsung pada kehidupan sehari-hari," tegas dia.

Neildeva mencontohkan, kualitas udara  buruk dan penggunaan energi kotor seperti PLTU batubara membuat masyarakat kesulitan bernapas. Di sisi lain, proyek tambang yang didorong pemerintah menyebabkan laut tercemar, sehingga nelayan kesulitan mencari ikan.

“Selama uang masih jadi tujuan utama, keputusan-keputusan soal lingkungan akan terus menyakiti bumi," wanti dia.

Sementara itu, Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Pattimura, Mike J. Rolobessy, memaparkan kondisi perubahan iklim di Maluku. Dia menjelaskan, dampak paling nyata dari perubahan iklim di Maluku terlihat pada kerusakan terumbu karang.

"lJika kerusakan ini terus berlanjut, banyak spesies laut akan terancam punah. Selain itu, pola migrasi ikan bisa berubah, sehingga nelayan pun kesulitan mencari ikan karena habitat alami ikan menghilang," imbuh dia.

perwakilan Bidang Pengelolaan Ruang Laut, Dinas Kehutanan dan Perikanan Provinsi Maluku, Selfrida M. Horhoruw menjelaskan kondisi eksisting wilayah Maluku. Khususnya, terkait posisi strategis Maluku dalam ekosistem laut global.

"Provinsi Maluku terletak di kawasan Coral Triangle atau Segitiga Terumbu Karang—wilayah ekosistem laut yang memiliki keanekaragaman hayati laut tertinggi di dunia. Coral Triangle mencakup area seluas 6 juta km² yang membentang di enam negara: Indonesia, Malaysia, Filipina, Timor Leste, Papua Nugini, dan Kepulauan Solomon. Sebanyak 76% jenis terumbu karang dunia—yaitu 605 dari 798 spesies—ditemukan di kawasan ini," papar dia.

Namun Selfrida mewanti, ekosistem ini terancam oleh berbagai aktivitas manusia seperti penangkapan ikan berlebihan (overfishing), pengeboman ikan, penggunaan energi kotor seperti PLTU batubara dan esploitasi dan pengambilan terumbu karang.

"Semua ini mempercepat perubahan iklim dan pemanasan global, meningkatkan suhu serta keasaman air laut, yang memicu fenomena coral bleaching (pemutihan karang). Coral bleaching berdampak langsung pada kerusakan terumbu karang dan terganggunya ekosistem laut di sekitarnya," wanti dia.


Ikan Kehilangan Habitat Tanpa Terumbu Karang

Selfrida menyatakan, tanpa terumbu karang, ikan kehilangan habitat yang menyebabkan populasi ikan menurun. Hal ini berdampak besar pada kehidupan nelayan.

"Mereka harus pergi lebih jauh ke tengah laut, membutuhkan lebih banyak bahan bakar, dan mengeluarkan biaya lebih besar. Akibatnya, kondisi ekonomi nelayan menjadi tidak stabil," jelas dia.

Selfrida memastikan, pemerintah tidak tinggal diam. Dia memaparkan, Pemerintah Provinsi Maluku sudah bergerak mengatasi dampak perubahan iklim melalui kebijakan dan regulasi.

"Peraturan Gubernur Maluku No. 29 Tahun 2024 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Peraturan Gubernur Maluku No. 43 Tahun 2024 tentang Rencana Aksi Daerah Konservasi Penyu dan Peraturan Gubernur tentang Alokasi Rumpon," rinci dia.


Berdampak Terhadap Kelompok Rentan

Program Manager Yayasan Rumah Generasi R. Jemmy Talakua  menyoroti perubahan iklim juga kelompok rentan. Seperti, penyandang disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan, dan masyarakat adat.

"Mereka mengalami dampak yang lebih berat. Contohnya, anak-anak rentan kekurangan gizi akibat cuaca ekstrem, perempuan menghadapi risiko kekerasan dan beban rumah tangga lebih besar, lansia dan disabilitas sulit dievakuasi saat bencana, dan masyarakat adat kehilangan mata pencaharian serta tempat tinggal akibat kerusakan lingkungan," beber dia.

Jemmy menegaskan, pentingnya advokasi kebijakan yang kuat dan inklusif untuk melindungi kelompok rentan dari krisis iklim. Ia juga menekankan, perempuan berperan penting dalam aksi iklim sebagai penjaga lingkungan dan pilar ketahanan keluarga, sehingga harus dilibatkan dan dilindungi dalam setiap kebijakan iklim.

Academia Politica Menerapkan Prinsip Inklusivitas Dengan Melibatkan Disabilitas. Hawa Tuhulele, salah satu peserta tuli, menyampaikan apresiasinya atas ruang yang inklusif dalam Academia Politica Ambon.

"Kami senang teman-teman disabilitas bisa ikut kegiatan ini. Ini bukti bahwa semua suara, tanpa terkecuali, punya tempat dalam perjuangan perubahan," kata Hawa.

Senada dengan Hawa, Azmi pelajar dari SMAN 13 Ambon yang juga menjadi peserta menyampaikan pesan penuh semangat kepada generasi muda Ambon.

"Kegiatan ini membuka cara pikir kami. Anak-anak Ambon jangan pernah takut bersuara! Suara kalian penting, terutama untuk menyelamatkan masa depan Ambon dari dampak perubahan iklim," kata dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(M Sholahadhin Azhar)