Rupiah Terus Melemah, Kondisi Ekonomi Dinilai Lebih Parah dari 1998

Ilustrasi. Foto: Dok MI

Rupiah Terus Melemah, Kondisi Ekonomi Dinilai Lebih Parah dari 1998

Eko Nordiansyah • 29 March 2025 13:16

Jakarta: Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah hingga 14 poin atau 0,08 persen menjadi Rp16.676 per dolar AS. Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho menyebut, anjloknya rupiah mirip krisis moneter 1998, bahkan kondisinya lebih buruk.

“Di tahun 1998, total utang luar negeri kita hanya sekitar USD70 miliar, atau setara Rp1.165 triliun. Sekarang, dengan kurs yang sama, utang luar negeri kita sudah tembus USD500 miliar, yaitu sekitar Rp8.325 triliun. Naik tujuh kali lipat,” ujar Hardjuno dalam keterangannya, Sabtu, 29 Maret 2025.

Menurutnya, fakta tersebut menunjukkan bahwa rupiah saat ini belum mencerminkan kondisi fundamental ekonomi Indonesia secara jujur. Ia mengatakan, nilai tukar yang terlihat sekarang belum merepresentasikan tekanan riil karena rupiah masih terlalu kuat.

Ia juga menyinggung holding strategis BUMN, Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dengan aset hingga Rp10 ribu triliun. Meski angka asetnya terkesan besar, nilainya tidak begitu mencolok jika dibandingkan dengan total utang luar negeri Indonesia saat ini.

“Aset terbaik kita seperti Danantara saja belum tentu cukup untuk membayar seluruh utang luar negeri yang sudah mencapai Rp8.325 triliun (USD 500 miliar). Ini mengkhawatirkan. Kalau aset andalan negara tidak bisa menutup utang, artinya kita harus hati-hati banget,” ujarnya.
 

Baca juga: 

5 Investor Kakap yang Raup Cuan dari Krisis Keuangan Global



(Ilustrasi. Foto: Dok MI)

Akuntabilitas fiskal dipertanyakan

Lebih lanjut, Hardjuno mengkritik pendekatan pemerintah yang selama ini terkesan membiarkan utang menumpuk tanpa ada strategi yang jelas. Ia mempertanyakan akuntabilitas fiskal di tengah sistem pemerintahan yang selalu mewariskan beban sama dari tahun ke tahun.

“Kalau kita tidak bisa bayar, artinya memang tidak mampu. Maka harus ada jalan keluar. Ini tidak bisa terus-menerus dibiarkan seperti sekarang. Kalau semua menteri berganti, siapa yang bertanggung jawab atas semua ini?” tegasnya.

Meski demikian, Hardjuno mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini memangkas anggaran negara. Namun demikian, Hardjuno menilai, kebijakan pemangkasan anggaran ini belum cukup efektif tanpa dibarengi dengan langkah lanjutan.

“Ya, itu langkah bagus. Tapi setelah itu bagaimana? Harus ada rencana besar yang konkret dan berani. Bukan sekadar reaksi jangka pendek. Kita harus mulai bicara jujur dan transparan. Ini soal masa depan negara. Harus ada solusi yang menyeluruh dan realistis,” ungkap dia.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Eko Nordiansyah)