Bendera Sudan. (Anadolu Agency)
Willy Haryono • 20 May 2025 06:58
Khartoum: Kepala militer dan pemimpin de facto Sudan Abdel Fattah al-Burhan pada hari Senin kemarin menunjuk mantan pejabat PBB Kamil Idris sebagai perdana menteri baru, lebih dari dua tahun setelah berlangsungnya perang brutal di negara tersebut.
Idris, seorang diplomat karier dan mantan kandidat presiden, adalah direktur jenderal Organisasi Kekayaan Intelektual Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa dan juga pernah bertugas dalam misi tetap Sudan di PBB.
“Ketua dewan kedaulatan mengeluarkan dekrit konstitusional yang mengangkat Kamil El-Tayeb Idris Abdelhafiz sebagai perdana menteri,” bunyi pernyataan dari Dewan Kedaulatan Transisi yang berkuasa di Sudan, seperti dikutip dari Macau Business, Selasa, 20 Mei 2025.
Pada 2010, Idris mencalonkan diri dalam pemilihan umum presiden melawan penguasa militer-Islamis lama, Omar al-Bashir.
Sejak April 2023, perang di Sudan telah mempertemukan pasukan militer Burhan dengan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF), yang dipimpin oleh mantan wakilnya, Mohamed Hamdan Daglo.
Konflik tersebut telah menewaskan puluhan ribu orang, menyebabkan 13 juta orang mengungsi, dan menciptakan apa yang digambarkan PBB sebagai krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Idris menggantikan diplomat kawakan Dafallah al-Haj Ali, yang ditunjuk oleh Burhan pada akhir April dan menjabat kurang dari tiga minggu sebagai pelaksana tugas perdana menteri.
Burhan sebelumnya mengatakan bahwa ia akan membentuk pemerintahan teknokratik masa perang untuk membantu "menyelesaikan apa yang tersisa dari tujuan militer kita, yaitu membebaskan Sudan dari para pemberontak.”
April lalu, RSF mengumumkan akan membentuk pemerintahan saingan, beberapa minggu setelah menandatangani piagam di Kenya dengan koalisi sekutu militer dan politik.
Langkah tersebut telah menimbulkan kekhawatiran internasional bahwa Sudan akan terbagi dua secara permanen, di mana kedua pihak telah dituduh melakukan kekejaman perang.
Perang tersebut telah memecah Sudan, dengan pasukan nasional menguasai wilayah utara, timur, dan tengah, sementara RSF mendominasi hampir seluruh Darfur dan, dengan sekutunya, sebagian wilayah selatan.
Baca juga: Drone Diduga dari Paramiliter RSF Serang Penjara di Sudan, 21 Orang Tewas