Partisipasi Perempuan dalam Politik Indonesia Dinilai Masih Rendah? Ini Faktanya

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa bersama Wagub Jatim Emil Elestianto Dardak, usai dilantik di Istana Jakarta. (Dok: Humas Pemprov Jatim)

Partisipasi Perempuan dalam Politik Indonesia Dinilai Masih Rendah? Ini Faktanya

Riza Aslam Khaeron • 6 March 2025 16:28

Jakarta: Partisipasi perempuan dalam politik Indonesia masih menjadi tantangan besar meskipun berbagai regulasi telah dikeluarkan untuk meningkatkan keterwakilan mereka. Dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2025, perbincangan mengenai peran perempuan dalam politik kembali mencuat.

Dalam laporan terbaru yang dirilis oleh Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS, disebutkan bahwa jumlah perempuan yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah dalam Pilkada Serentak 2024 masih sangat minim.

Dari total 206 calon kepala/wakil kepala daerah di 37 provinsi, hanya 8 calon gubernur perempuan (7,8 persen) dan 12 calon wakil gubernur perempuan (11,7 persen). Mengutip laporan CSIS, "Dari hasil pencalonan tersebut, hanya 5,41 persen gubernur dan 13,50 persen wakil gubernur perempuan terpilih," tulis CSIS, 2025.

"Rendahnya pencalonan dan keterpilihan perempuan menunjukkan masih minimnya angka keterwakilan perempuan berdasarkan critical mass theory," tulis CSIS.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa rendahnya keterwakilan perempuan dalam politik disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk budaya patriarki dan peran gender yang membatasi ruang gerak perempuan dalam sektor politik.

"Lemahnya pencalonan perempuan bisa terjadi karena mengakarnya budaya patriarki dan peran gender yang membatasi ruang gerak perempuan dalam sektor politik," tulis laporan CSIS. Selain itu, struktur dan institusi politik yang kurang ramah terhadap perempuan juga mempersempit peluang mereka untuk maju dalam kontestasi politik.

Dalam kajian CSIS, ditemukan pula bahwa tingkat keterpilihan perempuan dalam Pilkada Serentak 2024 jauh lebih rendah dibandingkan laki-laki. 

"Komposisi gubernur dan wakil gubernur terpilih secara signifikan diisi laki-laki, sebesar masing-masing 94,59 persen dan 86,50 persen," tulis CSIS.

Minimnya representasi perempuan dalam politik menciptakan kesenjangan dalam pengambilan kebijakan di tingkat daerah dan nasional. Rendahnya jumlah pemimpin perempuan juga berpengaruh pada arah kebijakan publik yang kurang memperhatikan isu-isu yang berdampak langsung pada perempuan dan kelompok rentan.

Hal ini menyoroti bahwa keberhasilan keterwakilan perempuan dalam politik memerlukan dukungan regulasi yang kuat, termasuk kebijakan afirmatif untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam proses pencalonan dan pemilihan.

Tantangan yang dihadapi perempuan dalam politik juga bersifat struktural. Sistem politik yang masih didominasi oleh laki-laki menciptakan hambatan dalam akses perempuan ke jaringan politik dan sumber daya politik.

Selain itu, kurangnya dukungan dari partai politik dan masyarakat turut menjadi kendala dalam memperkuat posisi perempuan dalam politik.

"Pada pilkada 2024, calon gubernur dan wakil gubernur di 37 provinsi mayoritas diisi laki-laki," tulis laporan CSIS.

 

Baca Juga:
Diskriminasi Gender di Dunia Kerja Masih Jadi Persoalan
 

Partisipasi Perempuan dalam Pemilu Legislatif Masih Kurang

Dalam Pemilu Legislatif 2024, partisipasi perempuan sebagai calon anggota DPR masih belum memenuhi harapan. Berdasarkan rekapitulasi Netgrit, sebagian besar partai politik gagal memenuhi kuota minimal keterwakilan perempuan sebesar 30 persen di setiap daerah pemilihan yang ditetapkan Peraturan KPU (PKPU) Tahun 2023 Pasal 8 ayat (2). Sejumlah partai besar hanya mencalonkan perempuan di beberapa daerah pemilihan tertentu, sementara di banyak daerah lainnya jumlah perempuan yang maju masih sangat terbatas.


Gambar: Rekapitulasi Daftar Calon Anggota DPR 2024. (Netgrit)

Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan bahwa beberapa partai gagal mencapai keterwakilan perempuan 30 persen dalam daftar calon mereka. PKB mencalonkan 204 perempuan dari total 580 calon, dengan 34,5 persen daerah pemilihan (dapil) yang tidak memenuhi kuota gender.

Gerindra hanya memiliki 210 perempuan dari 580 calon, dengan 26,2 persen dapil di bawah 30 persen. PDI Perjuangan memiliki 192 perempuan dari 580 calon, dengan 31 persen dapil yang tidak memenuhi kuota. Golkar dan NasDem masing-masing mencalonkan 197 dan 200 perempuan, dengan lebih dari 26 persen dapil yang tidak memenuhi kuota gender.

Partai lain juga mengalami kendala serupa. PKS bahkan tidak mencapai keterwakilan perempuan minimal di satu pun dapilnya. Demokrat dan PPP masing-masing memiliki 28,6 persen dan 14,3 persen dapil yang gagal memenuhi kuota perempuan. Bahkan partai-partai baru seperti Partai Buruh, Gelora, dan PKN juga mengalami kesulitan dalam memenuhi kuota gender.

Ahli hukum Didik Supriyanto menyoroti bahwa implementasi aturan keterwakilan perempuan 30 persen dalam Pemilu 2024 justru mengalami banyak penyimpangan dalam pelaksanaannya.

"Namun yang jadi masalah ketika Pemilu 2024 ini, PKPU 2024 menafsirkan paling sedikit 30% keterwakilan perempuan itu boleh lebih, boleh kurang. Akibatnya pada daerah yang kurang misalnya, 4 kursi, 7 kursi, 8 kursi, 11 kursi, jika diterjemahkan dengan cara boleh lebih boleh kurang tersebut maka tidak akan mencapai syarat 30%. Sehingga ini menimbulkan masalah bagi partai-partai tersebut karena tidak sesuai dengan tuntutan UU Pemilu. Yang ada justru ada banyak pelanggaran dan pengabaian dalam pelaksanaan PKPU 10/2023 ini," ucap Didik pada Dalam sidang Perkara 27 Mei 2024 di Jakarta.

Akibatnya, ada banyak daerah pemilihan yang tidak mencapai persentase minimal, dengan partai-partai tetap meloloskan daftar calon yang tidak memenuhi standar afirmasi gender.

Selain itu, Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 24P/HUM/2023 menyatakan bahwa KPU tidak menjalankan aturan keterwakilan perempuan secara konsisten. Beberapa partai tetap meloloskan daftar caleg yang tidak memenuhi kuota gender, terutama di daerah-daerah yang memiliki jumlah kursi DPRD lebih sedikit.

Masalah ini semakin diperparah dengan tidak adanya sanksi yang jelas bagi partai yang melanggar aturan ini, membuat kebijakan afirmasi perempuan dalam politik hanya sebatas formalitas tanpa implementasi yang efektif.

Dalam momentum Hari Perempuan Internasional 2025, peran perempuan dalam politik seharusnya tidak hanya menjadi wacana, tetapi juga harus diwujudkan dalam kebijakan konkret. Jika tidak ada upaya serius untuk memperbaiki kondisi ini, maka keterwakilan perempuan dalam politik Indonesia akan tetap stagnan dan jauh dari angka ideal.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com


(Surya Perkasa)