Komnas HAM. MI
Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah melakukan pemantauan proaktif atas peristiwa ledakan pemusnahan amunisi tidak layak pakai/apkir TNI di Desa Sagara, Cibalong, Garut pada 12 Mei 2025. Insiden ini menelan 13 korban jiwa, empat prajurit TNI, dan sembilan warga sipil.
Pemantauan tersebut dilakukan pada 15-17 Mei 2025 dengan meminta keterangan kepada sejumlah instansi terkait, saksi, dan keluarga korban di Kabupaten Garut. Berdasarkan hasil pemantauan Komnas HAM tersebut, berikut ini sejumlah temuan faktual di lapangan:
1. Kronologi Kegiatan Pemusnahan Amunisi dan Peristiwa Ledakan
Komnas HAM menjelaskan kegiatan pemusnahan amunisi yang berlokasi di Desa Sagara, Kecamatan Cibalong selama 2025 dilakukan dalam dua tahapan.
Pertama, berlangsung selama 17 April-5 Mei 2025 yang dilaksanakan oleh Gudang Pusat Amunisi I (Puspalad TNI-AD). Gelombang kedua berlangsung dari 29 April 2025-15 Mei 2025, yang dilakukan oleh Gudang Pusat Amunisi III (Puspalad TNI-AD).
"Dalam proses pemusnahan amunisi tersebut, biasanya akan melibatkan sekurangnya 1 pleton prajurit TNI-AD terdiri dari 30-50 prajurit dan kemudian mendirikan sejumlah tenda untuk menginap prajurit, tenda untuk penyimpanan amunisi yang akan dimusnahkan dan bahan pendukung lainnya termasuk dapur umum," kata Uli dikutip Minggu, 25 Mei 2025.
Kegiatan pemusnahan amunisi oleh jajaran Puspalad TNI-AD juga turut serta melibatkan 21 orang warga sipil yang dipekerjakan sebagai tenaga harian lepas.
"Kegiatan pemusnahan amunisi yang disertai dengan peristiwa ledakan yang menyebabkan 13 orang meninggal dunia merupakan kegiatan pada gelombang kedua, yang ditargetkan/bertepatan dengan hari terakhir kegiatan pemusnahan amunisi yaitu pada hari ke-11," jelas Uli.
Uli menerangkan peristiwa ledakan tersebut terjadi setelah sebelumnya dilakukan pemusnahan amunisi di dua lubang dengan lancar pada pukul 09.00-09.30 WIB.
"Sedangkan ledakan yang memicu jatuhnya korban jiwa terjadi sekitar pukul 09.30 WIB, yang diduga disebabkan oleh ledakan sisa detenator yang akan dimusnahkan dengan cara ditimbun setelah selesainya proses pemusnahan amunisi," bebernya.
Sebelum ledakan, jelas Uji, sempat ada perdebatan singkat antara Komandan Gapusmus dengan koordinator pekerja warga atas nama Rustiawan mengenai penanganan detenator sisa tersebut.
"Biasanya akan ditenggelamkan ke dasar laut untuk mempercepat proses disfungsi. Namun pada hari tersebut dipilih dengan cara menimbun menggunakan campuran urea," imbuhnya.
Pada saat kejadian, para korban sedang menurunkan sisa detenator yang telah dimasukkan ke dalam drum ke dalam lubang, dengan posisi beberapa orang berada di dalam lubang dan sisanya berada di sekitar lubang dan sedang mengangkut material detenator. Namun saat proses tersebut, drum yang berisi detenator tersebut tiba-tiba meledak.
"Setiap selesai tahapan pemusnahan/peledakan amunisi, ditemukan fakta adanya kumpulan warga yang mengambil sisa ledakan dari amunisi tersebut," tukas Uli.
Padahal, lanjut uli, lazimnya 50-an warga berkumpul di sekitar lokasi peledakan untuk mengambil atau memungut sisa pemusnahan amunisi. Selain itu, warga juga sering membawa pulang peti bekas amunisi ke rumah masing-masing untuk digunakan serbaguna.
2. Proses Penanganan dan Kondisi Korban
Komnas HAM mendata korban ledakan terdiri dari sembilan warga sipil yang dipekerjakan dan empat prajurit TNI. Sebanyak delapan korban sipil merupakan pekerja harian lepas dan satu lainnya sedang berkunjung ke lokasi menemui temannya.
"Para korban ditemukan dengan luka bakar berat dan beberapa di antaranya dengan bagian tubuh yang tidak utuh," jelas Uli.
Penanganan dan evakuasi korban melibatkan lima kendaraan medis dan tenaga medis dari Puskesmas Cibalong dan RSUD Pameungpek serta dievakuasi juga oleh
prajurit TNI dengan menggunakan kendaraan militer.
"Para korban di evakuasi ke RSUD Pamengpeuk sekira pukul 10.10 WIB. Awalnya dibawa ke IGD, karena dipastikan rata-rata korban sudah meninggal dunia, kemudian ditempatkan langsung ke ruang jenazah," kata Uli.
3. Pelibatan Sipil dalam Kegiatan Pemusnahan Amunisi Militer
Pada peristiwa tanggal 12 Mei 2025 sejumlah 21 orang dipekerjakan untuk membantu proses pemusnahan amunisi apkir TNI dengan upah rata-rata Rp150 ribu per hari.
Uli menjelaskan para pekerja terkoordinir di bawah Sdr. Rustiawan yang sudah memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun bekerja dalam proses pemusnahan amunisi baik dengan pihak TNI maupun Polri.
"Para pekerja diajarkan/belajar secara otodidak bertahun-tahun, tidak melalui proses pendidikan/pelatihan yang tersertifikasi," katanya.
Selain itu, para pekerja tidak dibekali dengan peralatan khusus atau alat pelindung diri dalam melaksanakan pekerjaanya. Padahal, mereka memiliki tugas masing-masing di antaranya sebagai supir truk, penggali lubang, hingga membongkar amunisi dan juru masak.
"Beberapa orang pekerja senior bahkan pernah melakukan pekerjaan tersebut hingga ke berbagai daerah di Indonesia seperti Makassar dan Maluku," jelasnya.
Komnas HAM menyebut pedoman PBB terkait keterlibatan sipil dalam urusan penanganan dan pemusnahan amunisi memang memberikan ruang pelibatan pihak lain dalam kegiatan sejenis dengan pemusnahan amunisi. Tapi, dengan syarat keahlian spesifik atau kompetensi tertentu.
4. Upaya Pencegahan/Sterilisasi Lokasi Pemusnahan Amunisi
Uli mengatakan terdapat pamflet/tanda larangan masuk dalam areal pemusnahan amunisi yang terpasang di jalan menuju ke lokasi. Selain itu, ada informasi pemberitahuan dari Babinsa kepada warga desa melalui saluran/aplikasi Whatsapp yang ditujukan kepada RT dan RW terkait informasi kegiatan pemusnahan amunisi.
"TNI sudah menghimbau warga untuk membuka pintu dan jendela, lemari dan perabotan lainnya yang terbuat dari kaca dan menghindari berada di dekat benda tersebut. Termasuk juga memuat informasi terkait estimasi waktu pelaksanaan pemusnahan," jelasnya.
Komnas HAM juga menemukan bahwa ada penjagaan prajurit TNI di areal/radius 1-1,5 kilometer di setiap akses jalan menuju lokasi pemusnahan sehingga warga yang hendak memungut hasil ledakan dibatasi dengan jarak tersebut. Terdapat pula kurang lebih empat ruas akses jalan menuju ke lokasi pemusnahan amunisi.
"Ada pertemuan singkat yang dilakukan antara prajurit dan pekerja sebelum melaksanakan kegiatan pemusnahan amunisi. Lalu setiap proses peledakan dari tiap lubang, terdapat aba-aba dari petugas menggunakan pengeras suara untuk menjauh dari lokasi ledakan dan untuk memposisikan tubuh dalam keadaan menunduk/telungkup," ujar Uli.
5. Dampak pada sekitar
Komnas HAM menemukan bahwa lokasi pemusnahan amunisi berada di kawasan Konservasi Sumber Daya Alam berdasarkan Izin Penggunaan Tanah Kawasan Hutan seluas 4 hektare dengan cara pinjam pakai pada tahun 1986 oleh Menteri Kehutanan.
"Namun, pernah ada usulan agar lokasi peledakan amunisi apkir milik TNI dipindah ke lokasi lain dan lahan tersebut dikembalikan fungsinya sebagai kawasan konservasi," tutur Uli.
Sayangnya, rutinitas pemusnahan amunisi apkir
TNI di Cibalong juga berdampak pada kondisi lingkungan warga hingga merusak ekosistem kawasan konservasi.
"Dalam kegiatan pemusnahan gelombang pertama terjadi kerusakan pada 2 rumah dan 1 kubah masjid, sedangkan dalam kegiatan pemusnahan gelombang kedua terjadi kerusakan jendela kaca dari 6 unit rumah warga. Lazimnya, kerusakan tersebut langsung didata dan diganti rugi oleh pihak TNI," tukas Uli.
Uli menekankan keluarga korban telah mendapatkan dukungan moral dan santunan secara materiil dari Gubernur Jawa Barat, Pangdam III/Siliwangi, Kapolda Jawa Barat dan sejumlah pihak lainnya. Selain itu, pemulihan dampak traumatik bagi keluarga korban dengan program trauma healing yang difasilitasi oleh jajaran Polres Garut.