Dari Konflik Berdarah Hingga MoU Damai, Ali Raban Wartawan Metro TV Saksi Hidup Transformasi Aceh

Pemerintah Aceh menyerahkan penghargaan kepada para wartawan yang terlibat dalam peliputan dan pemberitaan proses perdamaian antara GAM dan RI 20 tahun silam. Foto: Istimewa

Dari Konflik Berdarah Hingga MoU Damai, Ali Raban Wartawan Metro TV Saksi Hidup Transformasi Aceh

Fajri Fatmawati • 18 August 2025 19:46

Banda Aceh: Ketika mantan kombatan GAM dan TNI perwakilan Pemerintah Indonesia duduk berdampingan di Helsinki, Finlandia, 20 tahun lalu, Ali Raban menyadari ia sedang menyaksikan sejarah. Sebagai wartawan Metro TV yang meliput langsung konflik bersenjata di Aceh, ia tak pernah membayangkan momen itu akan tiba.

"Itu pemandangan yang dulu sulit dibayangkan, mengingat betapa tegang dan berdarahnya konflik di lapangan," kenang Ali Raban kepada Metrotvnews.com, Senin, 18 Agustus 2025.

Bagaimana perjalanan peliputan Aceh dari masa konflik hingga damai? Inilah cerita di balik lensa seorang jurnalis Metro TV yang menjadi saksi bisu perubahan tanah rencong.

Menyelami Konflik: Antara Nyawa, Objektivitas, dan Harapan 

Ali Raban menghela napas ketika mengingat Aceh di era konflik. Razia, kontak senjata, dan ancaman penyanderaan adalah menu harian. "Tantangan terbesar bagi saya sebagai jurnalis adalah menjaga objektivitas di tengah situasi yang penuh curiga. Meliput di daerah konflik berarti kita selalu berhadapan dengan risiko keamanan, sekaligus tekanan dari berbagai pihak yang ingin pemberitaan berpihak pada mereka," ujar Ali.

Bagi Ali, momen bersejarah itu menjadi salah satu pengalaman paling berkesan dalam karier jurnalistiknya. Ali mengungkapkan bencana tsunami yang melanda wilayah Aceh 2004 silam menjadi salah satu penyebab untuk mencapai kedamaian.

"Niat baik dan keikhlasan para pimpinan dari kedua pihak untuk mencapai perdamaian walaupun ada bencana tsunami pasti Allah kabulkan," ucap Ali.
 

Baca: #OnThisDay 15 Agustus: Perjanjian Damai Pemerintah RI-GAM Lewat Kesepakatan Helsinki di Finlandia

Ali membandingkan peliputan masa konflik dan pascaperdamaian. Di era konflik, wartawan bekerja di bawah ancaman razia, kontak senjata, bahkan penyanderaan. "Informasi sulit diverifikasi karena akses terbatas. Setiap pihak punya versinya sendiri," kata Ali.

Setelah perdamaian, tantangannya berbeda. Baginya, masa damai bukan sekadar tentang berhentinya kekerasan, tetapi juga tentang memastikan suara korban terdengar.
"Jika saat konflik fokusnya adalah bertahan hidup sekaligus melaporkan fakta, maka di masa damai fokusnya adalah menggali makna dan memberi ruang bagi suara-suara korban serta proses rekonsiliasi," jelas Ali.

Media sebagai Jembatan Perdamaian 

Sebagai bagian dari Metro TV, Ali percaya media berperan penting dalam mendorong perdamaian. Menurutnya, media bukan sekadar pelapor, tapi juga fasilitator perdamaian.

"Metro TV, bersama media lain, berusaha menampilkan sisi kemanusiaan konflik, bukan hanya angka korban atau pertempuran," ungkap Ali.

Pemberitaan yang seimbang, menurutnya, membantu membuka mata Indonesia dan dunia, bahwa konflik ini butuh solusi, bukan sekadar kemenangan militer. "Dengan cara itu publik di luar Aceh bisa lebih memahami urgensi perdamaian. Menurut saya, pemberitaan waktu itu cukup membantu memberi tekanan moral agar semua pihak serius menyelesaikan konflik," tutur Ali.

Dua dekade pasca-MoU Helsinki, Aceh telah berubah. Ali mnegungkapkan perubahan paling dirasakan adalah ruang kebebasan. Namun, ia mengingatkan bahwa masih ada PR besar.

"Masyarakat kini bebas beraktivitas tanpa ketakutan. Ekonomi, pendidikan, dan kesehatan membaik. Namun, masih ada pekerjaan rumah besar, memastikan keadilan bagi korban, mengatasi ketimpangan ekonomi, dan mengawal agar perdamaian tidak hanya menjadi milik elite, tetapi juga menyentuh masyarakat akar rumput," ungkap Ali.

Penghargaan Yang Bermakna

Di hari Damai Aceh, Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah, menyerahkan penghargaan kepada para wartawan yang terlibat dalam peliputan dan pemberitaan proses perdamaian antara GAM dan Republik Indonesia 20 tahun silam dalam momentum peringatan di Balai Meuseuraya Aceh, Jumat, 15 Agustus 2025.

Para wartawan tersebut berasal dari berbagai media baik nasional maupun lokal. Kini mereka merupakan jurnalis senior di Aceh, di antaranya adalah Ali Raban, Adi Warsidi, Muhammad Saleh, Nasir Nurdin, Nurdin Syam, Muhammad Ansar, dan Zainal Arifin.

Penghargaan atas peliputannya di Aceh tidak ia pandang sebagai pencapaian pribadi. Baginya, penghargaan itu adalah pengakuan bahwa jurnalisme bisa berkontribusi nyata bagi perdamaian. 

"Ini untuk semua jurnalis yang pernah bekerja di Aceh. Lebih dari sekadar prestasi, penghargaan ini adalah pengingat bahwa tugas kita sebagai jurnalis adalah berpihak pada kemanusiaan," tutur Ali.

Ia teringat pada seorang ibu di Kabupaten Pidie yang kehilangan dua anaknya di masa konflik. "Ia berkata, 'Saya hanya ingin tidak ada lagi ibu lain yang mengalami nasib seperti saya," kenang Ali.

Kalimat sederhana itu membuatnya sadar, bahwa perdamaian bukan soal politik atau perjanjian di meja perundingan, tapi soal kehidupan nyata orang kecil yang mendambakan rasa aman.

Pesan untuk Generasi Muda

Ali berpesan kepada jurnalis muda agar tak terjebak pada berita besar semata. "Di balik headline ada manusia, penderitaan, dan harapan. Dengarkan dengan empati, jaga integritas, dan lawan tekanan dari pihak mana pun," ujar Ali.

Di era hoaks, ia menekankan peran jurnalis dalam menjaga perdamaian. "Kita harus kritis dan cermat. Jangan sampai perdamaian Aceh tergerus isu sektarian atau kepentingan politik sesaat," pungkas Ali.

Harapan untuk Aceh

Dua puluh tahun setelah perdamaian, Ali berharap perdamaian Aceh semakin kokoh. Sehingga, tidak ada lagi rekan-rekan wartawan dan generasi mendatang yang merasakan konflik serupa

"Jangan sampai generasi muda hanya mengenal konflik dari cerita orang tua mereka, tapi merasakan sendiri manfaat dari stabilitas, pembangunan, dan keterbukaan," tandas Ali.

Untuk dunia, ia punya pesan sederhana. "Aceh membuktikan bahwa perdamaian mungkin terwujud dengan kemauan politik, dukungan masyarakat, dan keberanian berdialog. Ini bukan hadiah, tapi hasil pengorbanan dan kerja keras bersama," tutup Ali.

Sebagai Informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Aceh kini termasuk daerah dengan indeks demokrasi yang tinggi. Capaian ini menunjukkan bahwa Aceh berada dalam kondisi yang kondusif, dengan penghormatan terhadap hak-hak sipil dan politik masyarakat yang dijalankan secara baik dan berkualitas.

Dari sisi ekonomi, merujuk data BPS triwulan II tahun 2025, Aceh mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 4,82 persen, lebih tinggi dibandingkan Sumatra Utara 4,69 persen maupun Riau 4,59 persen. Tingkat kemiskinan pun mengalami penurunan, dari 12,64 persen pada tahun 2024 menjadi 12,33 persen pada triwulan 2025.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Whisnu M)