Ilustrasi. Foto: MI.
TIDAK perlu dipertanyakan dukungan pemerintah dan rakyat Indonesia kepada Palestina. Simpati dan dukungan Indonesia kepada Palestina tidak akan pernah berkurang karena dibangun atas dasar prinsip kemanusiaan.
Membela perjuangan Palestina, baik secara politik, ekonomi, sosial, maupun jalur diplomasi lain seperti olahraga, sejatinya merupakan upaya pembelaan kita terhadap kemanusiaan. Tidak ada tawar-menawar untuk hal itu, bahkan ketika pendirian kuat Indonesia tersebut akan memunculkan beragam konsekuensi yang merugikan sekalipun.
Termasuk, baru-baru ini, saat Komite Olimpiade Internasional (IOC) memutuskan untuk melarang Indonesia menggelar olahraga multievent internasional. Larangan itu merupakan buntut penolakan pemerintah Indonesia menerbitkan visa bagi atlet Israel yang hendak tampil di Kejuaran Dunia Senam 2025 di Jakarta.
Indonesia tak boleh surut ataupun gentar dengan keputusan IOC karena kita punya dasar yang kuat untuk tidak mengizinkan atlet Israel masuk ke Tanah Air. Langkah yang dilakukan Indonesia telah sesuai dengan amanat konstitusi, yakni menghapuskan segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Ketegasan sikap Indonesia dalam merespons tekanan IOC tidak hanya patut diacungi jempol, tapi juga selayaknya bisa menjadi pembelajaran bagi induk organisasi tertinggi olimpiade tersebut yang selama ini justru sering menerapkan standar ganda atau tidak konsisten dalam keputusan-keputusan mereka.
Contoh paling terang benderang dari kehipokritan IOC ialah perlakuan mereka terhadap atlet Rusia. IOC tidak mengeluarkan sanksi serupa seperti yang mereka berikan kepada Indonesia terhadap negara-negara yang menolak memberikan visa kepada atlet Rusia. Negara itu bahkan diberi sanksi dilarang berlaga di ajang kejuaraan olahraga karena dianggap melakukan invasi ke Ukraina.
Sementara itu, untuk Israel yang jelas-jelas sudah mengangkangi nilai kemanusiaan dengan melakukan genosida di Gaza, Palestina, IOC justru amat lembek. 'Piagam Olimpiade' yang dijadikan alasan untuk memberikan sanksi terhadap Rusia, juga terhadap Indonesia, nyatanya tak berlaku bagi Israel.
Ilustrasi IOC. Foto: Dok. IOC.
Tidak ada sanksi sama sekali bagi Israel untuk mengikuti ajang olahraga internasional. Mereka terus dibela. Malah, negara yang tidak mengeluarkan visa untuk atlet Israel, seperti Indonesia, yang dijatuhi hukuman. Jelas terbaca ada ketidakadilan yang amat sangat dari sikap IOC itu.
Dari fakta tersebut terlihat bahwa sesungguhnya yang bermasalah ialah IOC, bukan Indonesia. Karena itu, tidak ada alasan bagi kita untuk takut atau merasa inferior. Pantang bagi kita bernegosiasi atau bahkan mengemis-ngemis meminta penghapusan sanksi, apalagi jika harus menggadaikan prinsip kemanusiaan dan antipenjajahan yang kita junjung tinggi.
Republik ini pernah punya pengalaman serupa lebih dari 60 tahun lalu. Ketika itu Presiden Soekarno bahkan menitahkan Indonesia angkat kaki dari IOC lewat surat tertanggal 14 Februari 1963 lantaran organisasi tersebut, seperti saat ini, juga terang-terangan membela Israel yang oleh Indonesia dilarang mengikuti Asian Games IV pada 1962.
Ketegasan sikap seperti itu penting untuk melawan kehipokritan IOC. Apalagi, seperti diyakini Menpora
Erick Thohir, kekuatan Indonesia saat ini tidak bisa dianggap remeh oleh bangsa-bangsa lain. Indonesia tetap bisa memiliki peran penting dan dihormati di dunia olahraga internasional.
Sembari 'melawan' keangkuhan IOC, Indonesia mesti terus berperan aktif dalam berbagai ajang olahraga di tingkat Asia Tenggara, Asia, maupun dunia. Dengan begitu, olahraga Indonesia dapat menjadi duta, sarana diplomasi, sekaligus cerminan kedigdayaan bangsa di mata dunia.