Penurunan Angka Kemiskinan Disebut Tak Sesuai Realita di Lapangan

Ilustrasi kemiskinan di Indonesia. Foto: MI/Andri Widiyanto.

Penurunan Angka Kemiskinan Disebut Tak Sesuai Realita di Lapangan

M Ilham Ramadhan Avisena • 27 July 2025 22:01

Jakarta: Penurunan angka kemiskinan di Indonesia dinilai tidak sesuai dengan realita yang ada di lapangan. Itu meski Badan Pusat Statistik (BPS) menilai posisi jumlah penduduk miskin yang 8,47 persen pada Maret 2025 merupakan terendah sepanjang sejarah. Sebabnya ialah perolehan angka tersebut didapat dari standar kemiskinan yang terlalu rendah.

BPS mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2025 sebanyak 23,85 juta orang. Itu diperoleh dari garis kemiskinan Rp609 ribu per kapita per bulan. Dengan standar kemiskinan serupa, angka kemiskinan Maret 2024 adalah 9,03 persen, setara 25,2 juta jiwa, dengan garis kemiskinan Rp583 ribu per kapita per bulan.

Dalam komparasi internasional, garis kemiskinan Indonesia yang sejak 2023 telah berstatus upper-middle income country, adalah sangat konservatif. Garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini hanya setara sekitar USD3,35 Purchasing Power Parity (PPP) per kapita per hari, hanya sedikit diatas garis kemiskinan ekstrem yang umum digunakan secara internasional untuk mengevaluasi kemiskinan di negara-negara miskin, yaitu USD3,00 PPP per kapita per hari. 

"Angka kemiskinan selama menggunakan metode garis kemiskinan yang lama tidak akan menjawab realita di lapangan. Jadi BPS kalau masih keluarkan angka kemiskinan tanpa revisi garis kemiskinan, sama saja, datanya kurang valid," tukas Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira melalui keterangan tertulis, dikutip Minggu, 27 Juli 2025.

Perbedaan definisi dan pendekatan memang menjadi faktor utama disparitas antara data nasional dan data internasional. Namun Celios menilai akar persoalan terletak pada metodologi pengukuran kemiskinan yang usang dan tak lagi relevan. 

BPS selama lima dekade masih menggunakan pendekatan berbasis pengeluaran dengan item yang hampir tidak berubah, meski struktur biaya hidup masyarakat telah jauh bergeser. Bhima juga menyoroti dampak dari ketidakakuratan data terhadap efektivitas kebijakan pemerintah. 

Menurut Bhima, data BPS seharusnya bisa digunakan sebagai acuan dalam menyalurkan bantuan sosial. Namun karena data tersebut tidak mencerminkan kondisi sebenarnya, pemerintah justru mengeluarkan biaya lebih besar untuk mencari data alternatif. 

"Seharusnya data BPS bisa dipakai untuk program pengentasan kemiskinan, tapi pemerintah harus mencari data sendiri by name by address untuk memetakan orang miskin menurut kriteria yang beda dengan BPS," tutur dia.
 

Baca juga: Tak Efektif, Program Bansos Cuma Tekan Sedikit Angka Kemiskinan


(Potret kemiskinan di Indonesia. Foto: Medcom.id)
 

Berpengaruh pada kebijakan perlindungan sosial


Direktur Kebijakan Publik Celios Media Wahyudi Askar menilai pendekatan usang BPS berpengaruh langsung pada kebijakan anggaran dan perlindungan sosial. Karena angka kemiskinan resmi terlihat kecil, alokasi anggaran dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 pun berisiko ditekan.

"Dengan jumlah penduduk miskin yang kecil versi data pemerintah, maka alokasi anggaran perlindungan sosial dalam RAPBN 2026 juga berpotensi ditekan atau tidak akan mengalami peningkatan signifikan," kata Media. 

Ia menambahkan, anggaran perlindungan sosial Indonesia hanya sekitar satu persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Thailand yang mencapai lebih dari lima persen PDB.

Masalah lain yang timbul akibat garis kemiskinan yang terlalu rendah adalah terbatasnya jangkauan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Banyak masyarakat rentan tidak masuk kategori miskin versi BPS, sehingga otomatis tak mendapatkan bantuan sosial.

"Jika garis kemiskinan terlalu rendah, maka otomatis banyak masyarakat rentan yang tidak terjaring ke dalam kategori masyarakat miskin sesuai data DTKS dan akhirnya tidak menerima bantuan sosial apa pun," jelas Media.

Celios mendorong reformasi besar-besaran dalam metodologi pengukuran kemiskinan nasional. Negara-negara seperti Malaysia dan Uni Eropa telah menyesuaikan metode mereka sesuai dinamika sosial ekonomi terkini. Indonesia juga seharusnya melakukan hal yang sama, termasuk dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) untuk mendefinisikan ulang kemiskinan secara lintas sektoral.

Lebih jauh, Celios mengusulkan pendekatan berbasis pendapatan yang dapat dibelanjakan (disposable income), bukan lagi sekadar pengeluaran. Dengan demikian, efektivitas kebijakan fiskal dan distribusi pendapatan negara bisa benar-benar diukur dari dampaknya terhadap kesejahteraan rakyat.

Selain itu, Celios menekankan pentingnya mengintegrasikan berbagai indikator kesejahteraan dalam evaluasi pembangunan. Akses pendidikan, layanan kesehatan, kondisi perumahan, jaminan sosial, hingga angka pengangguran dan korupsi seharusnya masuk dalam satu kerangka penilaian kebijakan publik.

Jangan lupa ikuti update berita lainnya dan follow  akun
Google News Metrotvnews.com
Viral!, 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id
(Husen Miftahudin)